motto hidup

sebaik-baik segala sesuatu adalah pertengahannya.
merenungi apa yang akan terjadi pada senyuman kedua orang tuaku, apabila aku gagal.

Rabu, 04 Januari 2012

Sumber Hukum Primer Dalam Islam

PENDAHULUAN

Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, yang telah mencurahkan rahmat dan kasih saying Nya kepada seluruh manusia. Tuhan yang memperbuat apa saja yang dikehendaki Nya, yang Besar dan Tinggi, yang Tunggal, dan tidak sesuatu pun yang menyerupai-Nya.
Shalawat dan Salam dimohonkan untuk penghulu kita, Imam sekalian Rasul, Nabi yang paling akhir yang diutus Tuhan untuk menjadi saksi, pembawa kabar gembira untuk hamba-hamba-Nya yang saleh dan membawa kabar duka untuk ummat yang durhaka. Rasul yang memanggil umat ke jalan Allah dan menjadi pelita bagi seluruh manusia di kegelapan zaman, yaitu Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Sumber hukum Islam adalah al Qur’an dan sunnah Rasulullah. Dua sumber tersebut disebut juga dalil-dalil pokok hukum Islam karena keduanya merupakan petunjuk utama kepada hukum Allah. Ada juga dalil-dalil lain selain al Qur’an dan sunah seperti Ijma’, qiyas, istihsan, maslahah mursalah, istishab, ‘urf, dan sadd az zari’ah yang hanya sebagai dalil pendukung yang hanya merupakan alat bantu untuk sampai kepada hukum-hukum yang dikandung oleh al Qur’an dan sunah Rasulullah. Akan tetapi ijma’ dan qiyas merupakan dua dalil yang disepakati oleh jumhur ulama seperti halnya al Qur’an dan hadits. Oleh sebab itu keempat sumber hukum itu merupakan sumber hukum primer dalam islam. Sedangkan merupakan sumber hukum yang sekunder dalam islam.
                Dalam makalah ini pemakalah hanya akan membahas tentang sumber hukum primer dalam islam, yaitu al Qur’an, sunah, ijma, dan qiyas. Dan disni dijelaskan pengertian, fungsi, dan contoh dari masing-masing sumber hukum tersebut.



PEMBAHASAN


Jumhur ulama telah sepakat al Qur’an, hadits, ijma’, dan qiyas merupakan sumber hukum yang sekunder dalam islam. Selanjutnya dalam mempergunakan dalil tersebut mereka juga sependapat bahwa dalil-dalil itu mempunyai urutan sebagaimana yang telah disebutkan.  Maka apabila terjadi suatu peristiwa atau permasalahan, maka sumber hukum yang pertama kali digunakan adalah al Qur’an. Jika hukum yang berkenanaan dengan peristiwa tersebut terdapat dalam al Qur’an, maka hukum itu harus dilaksanakan. Namun jika hukumnya tidak ditemukan di dalamnya, maka mencari hukumnya dalam sunah, jika ditemukan dalam sunah, maka hukum tersebut harus dilaksanakan. Akan tetapi jika tidak ditemukan hukumnya dalam sunah, maka harus dilihat apakah pada mujtahid pernah berijma’ mengenai masalah itu atau tidak. Lantas jika ditemukan, maka hukumnya harus dilaksanakan, dan jika tidak ditemukan maka seseorang harus berijtihad untuk menghasilkan hukumnya, dengan cara mengqiyaskan dengan hukum yang telah ada. Adapun dalil mengenai penggunaan dalil di atas adalah firman Allah swt., yaitu:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An nisaa’ [4]:59)
Perintah menaati Allah swt. dan Rasul Nya merupakan perintah untuk mengikuti al Qur’an dan sunah, sedangkan perintah untuk menaati ulil amri di antara kaum muslimin merupakan perintah untuk mengikuti hukum-hukum yang telah disepakati oleh para mujtahid, karena sebenarnya mereka adalah ulil amri kaum muslimin dalam mensyariatkan hukum. Sementara perintah untuk mengembalikan permasalahan yang diperselisihkan umat islam kepada Allah swt. Dan kepada Rasul merupakan perintah untuk mengikuti qiyas ketika tidak ada nash dan tidak ada ijma’, karena sesungguhnya qiyas terhadapnya berarti mengembalikan sesuatu yang diperselisihkan hukumnya kepada Allah dan kepada Rasul. Sebenarnya qiyas adalah menyamakan kejadian yang ada nash hukumnya berkenaan dengan hukum yang ada nashnya, karena adanya persamaan illat hukum pada kedua kejadian itu. Dengan demikian ayat tersebut menjadi dalil terhadap kewajiban mengikuti keempat dalil atau sumber hukum tersebut. Berikut ini secara ringkas akan dijelaskan masing-masing dari keempat sumber hukum tersebut.


A.        Pengertian

1.         Al Qur’an
Al Qur’an secara bahasa berasal dari kata qara’a-yaqra’u-qur’anan yang berarti membaca atau bacaan. Selain itu kata qara’a juga berarti menghimpun atau mengumpulkan.[1] Adapun pengertian Al Qur’an secara istilah adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui Malaikat Jibril sebagai mukjizat dan petunjuk hidup seluruh manusia yang diawali dengan surat al Fatihah dan diakhiri dengan surat al Ikhlash serta berpahala bagi yang membaca atau yang mendengar bacaannya. Dalam buku pintar agama islam tertulis, pengertian al Qur’an adalah kitab suci yang berisi firman-firman Allah swt. Yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw. melalui Malaikat Jibril as.[2]
Ilmu fiqh dan ulumul qur’an adalah salah dua diantara ilmu-ilmu dalam islam yang banyak membahas tentang al Qur’an. dan para ulama yang ahli dalam masing-masing ilmu tersebut tentunya memiliki pengertian yang berbeda-beda mengenai al Qur’an. dalam kajian ushul fiqh, al Qur’an berarti kalam Allah yang diturunkan Nya dengan perantaraan Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad saw. dengan bahasa Arab serta dianggap beribadah bagi yang membacanya.[3] Dan ulama ushul lain mendefinisikan al Qur’an sebagai kalam Allah yang diturunkan oleh Nya melalui perantaraan Malaikat Jibril ke dalam hati Rasulullah Muhammad bin Abdullah dengan lafazh yang berbahasa Arab dan makna-maknanya yang benar, untuk menjadi hujjah bagi Rasul atas pengakuannya sebagai Rasulullah, menjadi undang-undang bagi manusia yang mengikutinya, dan menjadi qurban di mana mereka beribadah dengan membacanya.[4]
Dan pengertian al Qur’an menurut ulama ulumul qur’an adalah kalam atau firman Allah yang diturunkan kepada Muhammad saw. yang pembacaannya merupakan suatu ibadah.[5] Ada ulama lain yang mendifinisikan al Qur’an adalah wahyu Allah yang disampaikan oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad saw. sesuai dengan redaksi yang datang dari Nya, secara tawatur.[6] Dan masih banyak lagi ulama dengan definisinya masing-masing.

2.         Hadits
Sumber hukum dalam islam yang kedua setelah al Qur’an adalah hadits. Hadits secara bahasa berasal dari kata hadatsa-yahdutsu-hudutsan-haditsan yang memiliki banyak arti, diantaranya baru, lembut atau lunak, berita, dekat, dan berita. Dan menurut istilah hadits adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw., baik berupa perkataan, perbuatan, takrir, dan sifatnya. Hadits bersinonim dengan kata sunah yang memiliki makna yang sama. Pebedaannya, hadits hanya mencakup perkataan, perbuatan, takrir, dan sifat Rasul setelah beliau diangkat menjadi Nabi, sedangkan sunah sesudah dan sebelum diangkat menjadi Nabi. Dan sunah secara bahasa memiliki banyak arti diantaranya adalah,  suatu perjalanan yang diikuti, tradisi yang kontinyu, perilaku seseorang tertentu.
Hadits atau sunah memiliki banyak pengertian menurut berbagai cabang ilmu keislaman. Pengertian hadits menurut ulama hadits sendiri adalah sebagaimana yang telah tertulis pada paragraf sebelumnya. Menurut para fuqaha, sunah adalah sesuatu ketetapan yang datang dari Rasulullah dan tidak termasuk kategori fardhu dan wajib, maka ia menurut mereka adalah sifat syara’ yang menuntut pekerjaan tapi tidak wajib dan tidak disiksa bagi yang meninggalkannya. Menurut ulama fikih, sunah dilihat dari segi hukum sesuatu yang datang dari Nabi tetapi hukumnya tidak wajib, diberi pahala bagi yang mengerjakannya dan tidak disiksa bagi yang meninggalkannya. Contohnya adalah shalat sunah, puasa sunah, dan lain sebagainya.
Sedangkan hadits atau sunah dalam ilmu ushul fiqh adalah segala sesuatu yang diriwayatkan Nabi Muhammad saw. baik berupa segala perkataan, perbuatan, dan pengakuan yang patut dijadikan dalil hukum syara’. Sunah menurut ulama ushul fiqh hanya perbuatan yang dapat dijadikan dasar hukum islam. Jika suatu perbuatan nabi tidak dijadikan dasar hukum seperti makan, minum, tidur, berjalan, buang air, dan lain sebagainya maka pekerjaan biasa sehari-hari tersebut tidak dinamakan sunah.[7] Pengertian lainnya adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi saw. selain al Qur’an, baik berupa sabda, perbuatan, atau takrir, yang layak menjadi dalil hukum syara’.[8]
 

3.         Ijma’
Sumber hukum dalam islam yang ketiga setelah hadits adalah ijma’. Ijma’ secara bahasa berasal dari kata ajma’a-yujmi’u-ijma’an yang berarti bersepakat, mengambil keputusan, mengumpulkan, menghimpun, kebulatan tekad terhadap suatu persoalan. Sedangkan menurut istilah ijma’ adalah kesepakatan seluruh para mujtahid di kalangan umat islam pada suatu masa setelah Rasulullah saw. wafat atas hukum syara’ mengenai suatu kejadian.[9] Abdul Karim Zaidan berpendapat bahwa ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid dari kalangan umat islam tentang hukum syara’ pada suatu masa setelah wafatnya rasul.[10] Dan ada pula ulama ushul fiqh yang berpendapat ijma’ adalah kesepakatan umat Rasulullah saw. Setelah wafatnya di beberapa masa terhadap suatu perkara atau permasalahan.[11]
Yang disebut dengan ijma’ adalah apabila terjadi suatu kejadian atau masalah setelah wafatnya Rasulullah yang dihadapkan kepada para mujtahid dari umat islam dan mereka bersepakat tentang bagaimana hukum kejadian tersebut. Disebutkan setelah wafatnya Rasulullah karena pada masa beliau hidup, seluruh permasalahan yang terjadi langsung diadukan kepada beliau dan beliau putuskan hukumnya. Sehingga tidak akan terjadi perbedaan dalam hukum syar’i, dan tidak ada kesepakatan, karena kesepakatan itu merupakan hasil dari pemikiran beberapa orang.

4.         Qiyas
Sumber hukum dalam islam yang terakhir adalah qiyas. Qiyas secara bahasa berasal dari kata qaasa-yaqiisu-qoisan-qiyaasan yang berarti ukuran, persamaan, persesuaian, kias, analogi. Dan secara istilah qiyas adalah mengembalikan cabang kepada asalnya dengan illat yang mengumpulkan keduanya  dalam suatu hukum.[12] Seorang ulama ushul fiqh, yaitu Wahbah az Zuhaili mengemukakan  qiyas adalah menghubungkan sesuatu yang tidak ada ketentuan hukumnya dengan sesuatu yang ada ketentuan hukumnya karen ada persamaan illat antara keduanya.[13]
Dalam kitab lain dijelaskan bahwa qiyas adalah mempersamakan suatu kasus yang tidak ada nash hukumnya dengan suatu kasus yang ada nash hukumnya, karena persamaan kedua itu dalam illat hukumnya. Maka apabila suatu nash telah menunjukan hukum mengenai suatu kasus dan illat hukum itu telah diketahui melalui salah satu metode untuk menegetahui illat hukum, kemudian ada kasus lainnya yang sama dengan kasus yang ada nashnya itu dalam suatu illat  yang illat hukum itu juga terdapat pada kasus itu, maka hukum kasus itu disamakan dengan hukum kasus yang ada nashnya, berdasarkan atas persamaan illatnya, karena sesungguhnya hukum itu ada di mana illat hukum ada.[14]


B.        Fungsi

1.         Al Qur’an
Al Qur’an sebagai sumber hukum pertama dalam islam, memiliki berbagai fungsi yang di anataranya adalah:
a.         Orang kafir beranggapan bahwa al Qur’an itu adalah karangan Nabi Muhammad saw., sehingga apabila wahyu tidak turun, maka mereka meminta kepada beliau untuk mengarang ayat. Tentu saja hal ini merupakan ejekan mereka kepada Nabi Muhammad. Dan al Qur’an turun sebagai bukti berasal dari Allah swt., sebagai mana dalam firman Nya,
Dan apabila kamu tidak membawa suatu ayat Al Qur'an kepada mereka, mereka berkata: "Mengapa tidak kamu buat sendiri ayat itu?" Katakanlah: "Sesungguhnya aku hanya mengikut apa yang diwahyukan dari Tuhanku kepadaku. Al Qur'an ini adalah bukti-bukti yang nyata dari Tuhanmu, petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. (QS. al A’raf : 203)
b.        Sebagai pembenar kitab-kitab suci sebelumnya, yakni Taurat, Zabur, dan Injil. Sebagaimana dalam firman Allah, yaitu Dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu yaitu Al Kitab (Al Qur'an) itulah yang benar, dengan membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya. (QS. Fathir : 31).
c.         Sebagai pelajaran dan penerangan. Sebagaimana dalam firman Allah, yaitu Dan Kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan bersyair itu tidaklah layak baginya. Al Qur'an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan. (QS. Yasien : 69).
d.        Sebagai pembimbing yang lurus. Sebagaimana dalam firman Allah, yaitu Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al Kitab (Al Qur'an) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya. Sebagai bimbingan yang lurus. (QS. Al Kahfi : 1-2)
e.        Sebagai pedoman bagi manusia. Sebagaimana dalam Allah, yaitu Al Qur'an ini adalah pedoman bagi manusia, petunjuk dan rahmat bagi kaum yang meyakini. (QS. Al Jatsiyah : 20).
f.          Sebagai pengajaran, Sebagaimana dalam firman Allah, yaitu Dan Al Qur'an itu tidak lain hanyalah peringatan bagi seluruh umat. (QS. Al Qolam : 52).
g.         Sebagai petunjuk dan kabar gembira, Sebagaimana dalam firman Allah, yaitu Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami, bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri, dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. (QS an Nahl : 69).
h.         Sebagai obat penyakit jiwa. Sebagaimana dalam firman Allah, yaitu Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. (QS. Yunus : 57).
Fungsi lain yang tidak kalah penting adalah sebagai bukti kebenaran Nabi Muhammad saw. dan bukti bahwa semua ayatnya benar-benar dari  Allah swt. Sebagai bukti kedua fungsinya yang terakhir paling tidak ada dua aspek dalam al Qur’an itu sendiri, yaitu isi dan kandungannya yang sangat lengkap san sempurna, keindahan bahasanya dan ketelitian redaksinya, kebenaran berita-berita gaibnya, dan isyarat-isyarat ilmiahnya.[15]

2.         Hadits
Fungsi hadits secara umum, sebagai sumber hukum islam yang kedua setelah al Qur’an adalah menguraikan segala sesuatu yang disampaikan dalam al Qur’an yang masih global, singkat, dan samar. Secara garis besar ada beberapa fungsi hadits terhadap al Qur’an, yaitu sebagai berikut:
a.         Hadits sebagai penguat atau memperkuat keterangan yang ada dalam al Qur’an. Artinya hadits menjelaskan apa yang sudah dijelaskan dalam al Qur’an.
b.        Hadits sebagai penjelas terhadap al Qur’an. penjelasan yang diberikan ada tiga macam, yang pertama adalah hadits memberi penjelasan secara terperinci kepada ayat-ayat al Qur’an yang bersifat global baik menyangkut masalah ibadah maupun masalah hukum, sebagaian ulama menyebutkannya bayan tafshil atau bayan tafsir, yang kedua adalah hadits mengkhususkan ayat-ayat al Qur’an yang umum, sebagaian ulama menyebutkan bayan takhshish, dan yang ketiga adalah hadits membatasi kemuthlakan ayat al Qur’an, artinya al Qur’an keterangannya secara muthlak, kemudian ditakhshish dengan hadits yang khusus. Sebagian ulama menyebutnya bayan taqyid.
c.         Hadits menghapus hukum yang diterangkan dalam al Qur’an.
d.        Hadits menciptakan hukum syari’at yang belum dijelaskan oleh al Qur’an.[16]
e.        Hadits membuat aturan tambahan yang bersifat teknis atas sesuatu kewajiban yang disebutkan pokok-pokoknya di dalam al Qur’an.[17]

3.         Ijma’
Sebagai sumber hukum islam yang ketiga, ijma memiliki fungsi untuk menguatkan Al Quran dan Sunnah serta menolak kemungkinan terjadinya kesalahan dalam dalil yang dzonni sehingga menjadi qoth’i.[18]

4.         Qiyas
Sebagai sumber hukum islam yang terakhir, qiyas memiliki fungsi yang hampir sama dengan ijma’. Ia menjadi solusi terakhir ketika suatu permasalahan tidak ditemukan di dalam al Qur’an, hadis, dan permasalahan itu belum disepakati para ulama. Sehingga dapat menguatkan Al Quran dan Sunnah serta menolak kemungkinan terjadinya kesalahan dalam dalil yang dzonni sehingga menjadi qoth’i.


C.        Contoh

Contoh dari al Qur’an, hadits, ijma’, dan qiyas tentu banyak sekali jumlahnya. Salah satu contoh dari al Qur’an adalah ayat yang menjelaskan tentang wudhu, yaitu:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki. (QS. Al Maidah : 6).
Ayat itu kemudian diperkuat dengan suatu hadits, yaitu:
وَعَنْ حُمْرَانَ أَنَّ عُثْمَانَ دَعَا بِوَضُوءٍ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ تَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ وَاسْتَنْثَرَ ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُمْنَى إلَى الْمِرْفَقِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى إلَى الْكَعْبَيْنِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ قَالَ : رَأَيْت رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Humran bahwa Utsman meminta air wudlu. Ia membasuh kedua telapak tangannya tiga kali lalu berkumur dan menghisap air dengan hidung dan menghembuskannya keluar kemudian membasuh wajahnya tiga kali. Lalu membasuh tangan kanannya hingga siku-siku tiga kali dan tangan kirinya pun begitu pula. Kemudian mengusap kepalanya lalu membasuh kaki kanannya hingga kedua mata kaki tiga kali dan kaki kirinya pun begitu pula. Kemudian ia berkata: Saya melihat Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam berwudlu seperti wudlu-ku ini. (Muttafaq Alaihi).[19]
   Kemudian contoh ijma’ yang didasarkan pada al Qur’an adalah kesepakatn ulama atas keharaman menikahi nenek dan cucu perempuan. Kesepakatan itu dilandaskan atas ayat 23 surat an Nisaa’ yang berarti, Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Para ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan kata ummahat dalam ayat tersebut mencakup ibu kandung dan nenek, dan kata banat dalam ayat tersebut mencakup anak perempuan dan cucu perempuan.[20]
Dan sedangkan salah satu contoh dari qiyas adalah meminum khamar adalah kasus yang ditetapkan hukumnya olah nash yaitu pengharaman yang ditunjukkan oleh firman Allah, yaitu:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأنْصَابُ وَالأزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (QS. Al Maidah : 90)
Karena suatu illat yaitu memabukkan, maka setiap minuman keras yang terdapat padanya illat memabukkan disamakan dengan khamar mengenai hukumnya dan haram meminumnya.[21]





PENUTUP

A.        Kesimpulan

Al Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara tawatur  melalui Malaikat Jibril sebagai mukjizat dan petunjuk hidup seluruh manusia yang diawali dengan surat al Fatihah dan diakhiri dengan surat al Ikhlash serta berpahala bagi yang membaca atau yang mendengar bacaannya. Fungsi al Qur’an adalah sebagai bukti kebenaran Nabi Muhammad saw. dan bukti bahwa semua ayatnya benar-benar dari  Allah swt. Kedua fungsi tersebut paling tidak ada dua aspek dalam al Qur’an itu sendiri, yaitu isi dan kandungannya yang sangat lengkap san sempurna, keindahan bahasanya dan ketelitian redaksinya, kebenaran berita-berita gaibnya, dan isyarat-isyarat ilmiahnya.
Hadits atau sunah dalam ilmu ushul fiqh adalah segala sesuatu yang diriwayatkan Nabi Muhammad saw. baik berupa segala perkataan, perbuatan, dan pengakuan yang patut dijadikan dalil hukum syara’. Fungsi hadits secara umum, sebagai sumber hukum islam yang kedua setelah al Qur’an adalah menguraikan segala sesuatu yang disampaikan dalam al Qur’an yang masih global, singkat, dan samar.
Ijma’ adalah kesepakatan seluruh para mujtahid di kalangan umat islam pada suatu masa setelah Rasulullah saw. wafat atas hukum syara’ mengenai suatu kejadian. Ijma memiliki fungsi untuk menguatkan Al Quran dan Sunnah serta menolak kemungkinan terjadinya kesalahan dalam dalil yang dzonni sehingga menjadi qoth’i.
Qiyas adalah menghubungkan sesuatu yang tidak ada ketentuan hukumnya dengan sesuatu yang ada ketentuan hukumnya karen ada persamaan illat antara keduanya. Qiyas memiliki fungsi yang hampir sama dengan ijma’. Ia menjadi solusi terakhir ketika suatu permasalahan tidak ditemukan di dalam al Qur’an, hadis, dan permasalahan itu belum disepakati para ulama.

B.        Penutup

Di bawah genggaman kuasa Allah swt. dan limpahan nikmat-Nya yang tak terhingga, para penulis memanjatkan puji dan syukur dari lubuk jiwa ke hadirat Allah swt. yang telah memberi anugerah terindah kepada para penulis, sehingga dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul  “Sumber Hukum Primer Dalam Islam” tepat pada waktunya.
Para penulis tentunya sudah berusaha maksimal dalam memanfaatkan  waktu untuk menuangkan segala pikiran dan pengetahuan ke dalam makalah ini. Para penulis tidak lupa memohon ampun kepada Allah swt., atas kesalahan-kesalahan kami dalam penulisan makalah ini. Dan tentunya, kritik dan saran sangat penulis harapkan, guna perbaikan di masa mendatang. Dan harapan para penulis, semoga makalah ini sangat bermanfaat bagi para penulis, teman-teman, masyarakat, dan semua pihak yang membaca makalah ini. Amien Ya Rabbal Alamin...


 
DAFTAR PUSTAKA

Al Asqolani , Ibnu Hajar, Bulughul Maram. Mesir:Darul Atsar, 2007.
Al khatib, Muhammad ‘Ajaj. Ushul al Hadits. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007.
Al Qattan, Manna’ Khalil. Studi Ilmu-ilmu al Qur’an. Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2009.
Effendi, Satria. Ushul Fiqh. Jakarta: Prenada Media Group, 2008.
Hakim, Abdul Hamid. Mabadi’ Awaliyah. Jakarta: Sa’adiyah Putra.
Hamid, Syamsul Rijal. Buku Pintar Agama Islam. Bogor: Cahaya Salam, 2010.
http://draftmuslim.wordpress.com/2007/03/01/pokok-sumber-aqidah/
Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushul Fiqh. Semarang: Dina Utama Semarang, 1994.
Khon, Abdul Majid. Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah, 2009.


                [1] Manna’ Khalil al Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an (Bogor:Pustaka Litera Antar Nusa, 2009), h. 15.
                [2] Syamsul Rijal Hamid, Buku Pintar Agama Islam (Bogor:Cahaya Salam, 2010), h. 211.
                [3] Satria Effendi, Ushul Fiqh (Jakarta:Prenada Media Group, 2008), h. 79.
                [4] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh (Semarang:Dina Utama Semarang, 1994), h. 18.
                [5] Al Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, h. 17.
                [6] Quraish Shihab, M. Quraish Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman Yang Patut Anda Ketahui (Jakarta:Lentera Hati, 2009), h. 275.
                [7] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta:Amzah, 2009), h. 6.
                [8] Muhammad ‘Ajaj al Khatib, Ushul al Hadits (Jakarta:Gaya Media Pratama, 2007), h. 2.
                [9] Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, h. 56.
                [10] Effendi, Ushul Fiqh, h. 125.
                [11] Abdul Hamid Hakim, Mabadi’ Awaliyah (Jakarta:Sa’adiyah Putra), h. 18.
                [12] Hakim, Mabadi’ Awaliyah, h. 19.
                [13] Effendi, Ushul Fiqh, h. 130.
                [14] Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, h. 66.
                [15] Hamid, Buku Pintar Agama Islam, h. 213-215.
                [16] Khon, Ulumul Hadis, h. 16-19.
                [17]Effendi, Ushul Fiqh, h. 123.
                [18] http://draftmuslim.wordpress.com/2007/03/01/pokok-sumber-aqidah/
                [19] Ibnu Hajar al Asqolani, Bulughul Maram (Mesir:Darul Atsar, 2007), h. 70.
                [20] Effendi, Ushul Fiqh, h. 127-128.
                [21] Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, h. 66-67.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar