motto hidup

sebaik-baik segala sesuatu adalah pertengahannya.
merenungi apa yang akan terjadi pada senyuman kedua orang tuaku, apabila aku gagal.

Minggu, 08 Januari 2012

Koleksi Foto Q

 Setelah mengikuti seminar di BSM Pusat
 Bersama calon pengurus OSIS SMP Ar Raihan
 Kedua orang tua Q
 Di asrama PTIQ
 Menjelang Pembukaan MASTAMA
 Di Ragunan
Juara 3 di Kabupaten Majalengka
 di LamSel
 KIAI Futsal Club
 Di depan kelas 12 IAI Pa
 Di LamBar

Rabu, 04 Januari 2012

Bingung

Sumber Hukum Primer Dalam Islam

PENDAHULUAN

Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, yang telah mencurahkan rahmat dan kasih saying Nya kepada seluruh manusia. Tuhan yang memperbuat apa saja yang dikehendaki Nya, yang Besar dan Tinggi, yang Tunggal, dan tidak sesuatu pun yang menyerupai-Nya.
Shalawat dan Salam dimohonkan untuk penghulu kita, Imam sekalian Rasul, Nabi yang paling akhir yang diutus Tuhan untuk menjadi saksi, pembawa kabar gembira untuk hamba-hamba-Nya yang saleh dan membawa kabar duka untuk ummat yang durhaka. Rasul yang memanggil umat ke jalan Allah dan menjadi pelita bagi seluruh manusia di kegelapan zaman, yaitu Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Sumber hukum Islam adalah al Qur’an dan sunnah Rasulullah. Dua sumber tersebut disebut juga dalil-dalil pokok hukum Islam karena keduanya merupakan petunjuk utama kepada hukum Allah. Ada juga dalil-dalil lain selain al Qur’an dan sunah seperti Ijma’, qiyas, istihsan, maslahah mursalah, istishab, ‘urf, dan sadd az zari’ah yang hanya sebagai dalil pendukung yang hanya merupakan alat bantu untuk sampai kepada hukum-hukum yang dikandung oleh al Qur’an dan sunah Rasulullah. Akan tetapi ijma’ dan qiyas merupakan dua dalil yang disepakati oleh jumhur ulama seperti halnya al Qur’an dan hadits. Oleh sebab itu keempat sumber hukum itu merupakan sumber hukum primer dalam islam. Sedangkan merupakan sumber hukum yang sekunder dalam islam.
                Dalam makalah ini pemakalah hanya akan membahas tentang sumber hukum primer dalam islam, yaitu al Qur’an, sunah, ijma, dan qiyas. Dan disni dijelaskan pengertian, fungsi, dan contoh dari masing-masing sumber hukum tersebut.



PEMBAHASAN


Jumhur ulama telah sepakat al Qur’an, hadits, ijma’, dan qiyas merupakan sumber hukum yang sekunder dalam islam. Selanjutnya dalam mempergunakan dalil tersebut mereka juga sependapat bahwa dalil-dalil itu mempunyai urutan sebagaimana yang telah disebutkan.  Maka apabila terjadi suatu peristiwa atau permasalahan, maka sumber hukum yang pertama kali digunakan adalah al Qur’an. Jika hukum yang berkenanaan dengan peristiwa tersebut terdapat dalam al Qur’an, maka hukum itu harus dilaksanakan. Namun jika hukumnya tidak ditemukan di dalamnya, maka mencari hukumnya dalam sunah, jika ditemukan dalam sunah, maka hukum tersebut harus dilaksanakan. Akan tetapi jika tidak ditemukan hukumnya dalam sunah, maka harus dilihat apakah pada mujtahid pernah berijma’ mengenai masalah itu atau tidak. Lantas jika ditemukan, maka hukumnya harus dilaksanakan, dan jika tidak ditemukan maka seseorang harus berijtihad untuk menghasilkan hukumnya, dengan cara mengqiyaskan dengan hukum yang telah ada. Adapun dalil mengenai penggunaan dalil di atas adalah firman Allah swt., yaitu:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An nisaa’ [4]:59)
Perintah menaati Allah swt. dan Rasul Nya merupakan perintah untuk mengikuti al Qur’an dan sunah, sedangkan perintah untuk menaati ulil amri di antara kaum muslimin merupakan perintah untuk mengikuti hukum-hukum yang telah disepakati oleh para mujtahid, karena sebenarnya mereka adalah ulil amri kaum muslimin dalam mensyariatkan hukum. Sementara perintah untuk mengembalikan permasalahan yang diperselisihkan umat islam kepada Allah swt. Dan kepada Rasul merupakan perintah untuk mengikuti qiyas ketika tidak ada nash dan tidak ada ijma’, karena sesungguhnya qiyas terhadapnya berarti mengembalikan sesuatu yang diperselisihkan hukumnya kepada Allah dan kepada Rasul. Sebenarnya qiyas adalah menyamakan kejadian yang ada nash hukumnya berkenaan dengan hukum yang ada nashnya, karena adanya persamaan illat hukum pada kedua kejadian itu. Dengan demikian ayat tersebut menjadi dalil terhadap kewajiban mengikuti keempat dalil atau sumber hukum tersebut. Berikut ini secara ringkas akan dijelaskan masing-masing dari keempat sumber hukum tersebut.


A.        Pengertian

1.         Al Qur’an
Al Qur’an secara bahasa berasal dari kata qara’a-yaqra’u-qur’anan yang berarti membaca atau bacaan. Selain itu kata qara’a juga berarti menghimpun atau mengumpulkan.[1] Adapun pengertian Al Qur’an secara istilah adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui Malaikat Jibril sebagai mukjizat dan petunjuk hidup seluruh manusia yang diawali dengan surat al Fatihah dan diakhiri dengan surat al Ikhlash serta berpahala bagi yang membaca atau yang mendengar bacaannya. Dalam buku pintar agama islam tertulis, pengertian al Qur’an adalah kitab suci yang berisi firman-firman Allah swt. Yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw. melalui Malaikat Jibril as.[2]
Ilmu fiqh dan ulumul qur’an adalah salah dua diantara ilmu-ilmu dalam islam yang banyak membahas tentang al Qur’an. dan para ulama yang ahli dalam masing-masing ilmu tersebut tentunya memiliki pengertian yang berbeda-beda mengenai al Qur’an. dalam kajian ushul fiqh, al Qur’an berarti kalam Allah yang diturunkan Nya dengan perantaraan Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad saw. dengan bahasa Arab serta dianggap beribadah bagi yang membacanya.[3] Dan ulama ushul lain mendefinisikan al Qur’an sebagai kalam Allah yang diturunkan oleh Nya melalui perantaraan Malaikat Jibril ke dalam hati Rasulullah Muhammad bin Abdullah dengan lafazh yang berbahasa Arab dan makna-maknanya yang benar, untuk menjadi hujjah bagi Rasul atas pengakuannya sebagai Rasulullah, menjadi undang-undang bagi manusia yang mengikutinya, dan menjadi qurban di mana mereka beribadah dengan membacanya.[4]
Dan pengertian al Qur’an menurut ulama ulumul qur’an adalah kalam atau firman Allah yang diturunkan kepada Muhammad saw. yang pembacaannya merupakan suatu ibadah.[5] Ada ulama lain yang mendifinisikan al Qur’an adalah wahyu Allah yang disampaikan oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad saw. sesuai dengan redaksi yang datang dari Nya, secara tawatur.[6] Dan masih banyak lagi ulama dengan definisinya masing-masing.

2.         Hadits
Sumber hukum dalam islam yang kedua setelah al Qur’an adalah hadits. Hadits secara bahasa berasal dari kata hadatsa-yahdutsu-hudutsan-haditsan yang memiliki banyak arti, diantaranya baru, lembut atau lunak, berita, dekat, dan berita. Dan menurut istilah hadits adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw., baik berupa perkataan, perbuatan, takrir, dan sifatnya. Hadits bersinonim dengan kata sunah yang memiliki makna yang sama. Pebedaannya, hadits hanya mencakup perkataan, perbuatan, takrir, dan sifat Rasul setelah beliau diangkat menjadi Nabi, sedangkan sunah sesudah dan sebelum diangkat menjadi Nabi. Dan sunah secara bahasa memiliki banyak arti diantaranya adalah,  suatu perjalanan yang diikuti, tradisi yang kontinyu, perilaku seseorang tertentu.
Hadits atau sunah memiliki banyak pengertian menurut berbagai cabang ilmu keislaman. Pengertian hadits menurut ulama hadits sendiri adalah sebagaimana yang telah tertulis pada paragraf sebelumnya. Menurut para fuqaha, sunah adalah sesuatu ketetapan yang datang dari Rasulullah dan tidak termasuk kategori fardhu dan wajib, maka ia menurut mereka adalah sifat syara’ yang menuntut pekerjaan tapi tidak wajib dan tidak disiksa bagi yang meninggalkannya. Menurut ulama fikih, sunah dilihat dari segi hukum sesuatu yang datang dari Nabi tetapi hukumnya tidak wajib, diberi pahala bagi yang mengerjakannya dan tidak disiksa bagi yang meninggalkannya. Contohnya adalah shalat sunah, puasa sunah, dan lain sebagainya.
Sedangkan hadits atau sunah dalam ilmu ushul fiqh adalah segala sesuatu yang diriwayatkan Nabi Muhammad saw. baik berupa segala perkataan, perbuatan, dan pengakuan yang patut dijadikan dalil hukum syara’. Sunah menurut ulama ushul fiqh hanya perbuatan yang dapat dijadikan dasar hukum islam. Jika suatu perbuatan nabi tidak dijadikan dasar hukum seperti makan, minum, tidur, berjalan, buang air, dan lain sebagainya maka pekerjaan biasa sehari-hari tersebut tidak dinamakan sunah.[7] Pengertian lainnya adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi saw. selain al Qur’an, baik berupa sabda, perbuatan, atau takrir, yang layak menjadi dalil hukum syara’.[8]
 

3.         Ijma’
Sumber hukum dalam islam yang ketiga setelah hadits adalah ijma’. Ijma’ secara bahasa berasal dari kata ajma’a-yujmi’u-ijma’an yang berarti bersepakat, mengambil keputusan, mengumpulkan, menghimpun, kebulatan tekad terhadap suatu persoalan. Sedangkan menurut istilah ijma’ adalah kesepakatan seluruh para mujtahid di kalangan umat islam pada suatu masa setelah Rasulullah saw. wafat atas hukum syara’ mengenai suatu kejadian.[9] Abdul Karim Zaidan berpendapat bahwa ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid dari kalangan umat islam tentang hukum syara’ pada suatu masa setelah wafatnya rasul.[10] Dan ada pula ulama ushul fiqh yang berpendapat ijma’ adalah kesepakatan umat Rasulullah saw. Setelah wafatnya di beberapa masa terhadap suatu perkara atau permasalahan.[11]
Yang disebut dengan ijma’ adalah apabila terjadi suatu kejadian atau masalah setelah wafatnya Rasulullah yang dihadapkan kepada para mujtahid dari umat islam dan mereka bersepakat tentang bagaimana hukum kejadian tersebut. Disebutkan setelah wafatnya Rasulullah karena pada masa beliau hidup, seluruh permasalahan yang terjadi langsung diadukan kepada beliau dan beliau putuskan hukumnya. Sehingga tidak akan terjadi perbedaan dalam hukum syar’i, dan tidak ada kesepakatan, karena kesepakatan itu merupakan hasil dari pemikiran beberapa orang.

4.         Qiyas
Sumber hukum dalam islam yang terakhir adalah qiyas. Qiyas secara bahasa berasal dari kata qaasa-yaqiisu-qoisan-qiyaasan yang berarti ukuran, persamaan, persesuaian, kias, analogi. Dan secara istilah qiyas adalah mengembalikan cabang kepada asalnya dengan illat yang mengumpulkan keduanya  dalam suatu hukum.[12] Seorang ulama ushul fiqh, yaitu Wahbah az Zuhaili mengemukakan  qiyas adalah menghubungkan sesuatu yang tidak ada ketentuan hukumnya dengan sesuatu yang ada ketentuan hukumnya karen ada persamaan illat antara keduanya.[13]
Dalam kitab lain dijelaskan bahwa qiyas adalah mempersamakan suatu kasus yang tidak ada nash hukumnya dengan suatu kasus yang ada nash hukumnya, karena persamaan kedua itu dalam illat hukumnya. Maka apabila suatu nash telah menunjukan hukum mengenai suatu kasus dan illat hukum itu telah diketahui melalui salah satu metode untuk menegetahui illat hukum, kemudian ada kasus lainnya yang sama dengan kasus yang ada nashnya itu dalam suatu illat  yang illat hukum itu juga terdapat pada kasus itu, maka hukum kasus itu disamakan dengan hukum kasus yang ada nashnya, berdasarkan atas persamaan illatnya, karena sesungguhnya hukum itu ada di mana illat hukum ada.[14]


B.        Fungsi

1.         Al Qur’an
Al Qur’an sebagai sumber hukum pertama dalam islam, memiliki berbagai fungsi yang di anataranya adalah:
a.         Orang kafir beranggapan bahwa al Qur’an itu adalah karangan Nabi Muhammad saw., sehingga apabila wahyu tidak turun, maka mereka meminta kepada beliau untuk mengarang ayat. Tentu saja hal ini merupakan ejekan mereka kepada Nabi Muhammad. Dan al Qur’an turun sebagai bukti berasal dari Allah swt., sebagai mana dalam firman Nya,
Dan apabila kamu tidak membawa suatu ayat Al Qur'an kepada mereka, mereka berkata: "Mengapa tidak kamu buat sendiri ayat itu?" Katakanlah: "Sesungguhnya aku hanya mengikut apa yang diwahyukan dari Tuhanku kepadaku. Al Qur'an ini adalah bukti-bukti yang nyata dari Tuhanmu, petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. (QS. al A’raf : 203)
b.        Sebagai pembenar kitab-kitab suci sebelumnya, yakni Taurat, Zabur, dan Injil. Sebagaimana dalam firman Allah, yaitu Dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu yaitu Al Kitab (Al Qur'an) itulah yang benar, dengan membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya. (QS. Fathir : 31).
c.         Sebagai pelajaran dan penerangan. Sebagaimana dalam firman Allah, yaitu Dan Kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan bersyair itu tidaklah layak baginya. Al Qur'an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan. (QS. Yasien : 69).
d.        Sebagai pembimbing yang lurus. Sebagaimana dalam firman Allah, yaitu Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al Kitab (Al Qur'an) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya. Sebagai bimbingan yang lurus. (QS. Al Kahfi : 1-2)
e.        Sebagai pedoman bagi manusia. Sebagaimana dalam Allah, yaitu Al Qur'an ini adalah pedoman bagi manusia, petunjuk dan rahmat bagi kaum yang meyakini. (QS. Al Jatsiyah : 20).
f.          Sebagai pengajaran, Sebagaimana dalam firman Allah, yaitu Dan Al Qur'an itu tidak lain hanyalah peringatan bagi seluruh umat. (QS. Al Qolam : 52).
g.         Sebagai petunjuk dan kabar gembira, Sebagaimana dalam firman Allah, yaitu Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami, bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri, dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. (QS an Nahl : 69).
h.         Sebagai obat penyakit jiwa. Sebagaimana dalam firman Allah, yaitu Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. (QS. Yunus : 57).
Fungsi lain yang tidak kalah penting adalah sebagai bukti kebenaran Nabi Muhammad saw. dan bukti bahwa semua ayatnya benar-benar dari  Allah swt. Sebagai bukti kedua fungsinya yang terakhir paling tidak ada dua aspek dalam al Qur’an itu sendiri, yaitu isi dan kandungannya yang sangat lengkap san sempurna, keindahan bahasanya dan ketelitian redaksinya, kebenaran berita-berita gaibnya, dan isyarat-isyarat ilmiahnya.[15]

2.         Hadits
Fungsi hadits secara umum, sebagai sumber hukum islam yang kedua setelah al Qur’an adalah menguraikan segala sesuatu yang disampaikan dalam al Qur’an yang masih global, singkat, dan samar. Secara garis besar ada beberapa fungsi hadits terhadap al Qur’an, yaitu sebagai berikut:
a.         Hadits sebagai penguat atau memperkuat keterangan yang ada dalam al Qur’an. Artinya hadits menjelaskan apa yang sudah dijelaskan dalam al Qur’an.
b.        Hadits sebagai penjelas terhadap al Qur’an. penjelasan yang diberikan ada tiga macam, yang pertama adalah hadits memberi penjelasan secara terperinci kepada ayat-ayat al Qur’an yang bersifat global baik menyangkut masalah ibadah maupun masalah hukum, sebagaian ulama menyebutkannya bayan tafshil atau bayan tafsir, yang kedua adalah hadits mengkhususkan ayat-ayat al Qur’an yang umum, sebagaian ulama menyebutkan bayan takhshish, dan yang ketiga adalah hadits membatasi kemuthlakan ayat al Qur’an, artinya al Qur’an keterangannya secara muthlak, kemudian ditakhshish dengan hadits yang khusus. Sebagian ulama menyebutnya bayan taqyid.
c.         Hadits menghapus hukum yang diterangkan dalam al Qur’an.
d.        Hadits menciptakan hukum syari’at yang belum dijelaskan oleh al Qur’an.[16]
e.        Hadits membuat aturan tambahan yang bersifat teknis atas sesuatu kewajiban yang disebutkan pokok-pokoknya di dalam al Qur’an.[17]

3.         Ijma’
Sebagai sumber hukum islam yang ketiga, ijma memiliki fungsi untuk menguatkan Al Quran dan Sunnah serta menolak kemungkinan terjadinya kesalahan dalam dalil yang dzonni sehingga menjadi qoth’i.[18]

4.         Qiyas
Sebagai sumber hukum islam yang terakhir, qiyas memiliki fungsi yang hampir sama dengan ijma’. Ia menjadi solusi terakhir ketika suatu permasalahan tidak ditemukan di dalam al Qur’an, hadis, dan permasalahan itu belum disepakati para ulama. Sehingga dapat menguatkan Al Quran dan Sunnah serta menolak kemungkinan terjadinya kesalahan dalam dalil yang dzonni sehingga menjadi qoth’i.


C.        Contoh

Contoh dari al Qur’an, hadits, ijma’, dan qiyas tentu banyak sekali jumlahnya. Salah satu contoh dari al Qur’an adalah ayat yang menjelaskan tentang wudhu, yaitu:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki. (QS. Al Maidah : 6).
Ayat itu kemudian diperkuat dengan suatu hadits, yaitu:
وَعَنْ حُمْرَانَ أَنَّ عُثْمَانَ دَعَا بِوَضُوءٍ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ تَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ وَاسْتَنْثَرَ ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُمْنَى إلَى الْمِرْفَقِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى إلَى الْكَعْبَيْنِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ قَالَ : رَأَيْت رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Humran bahwa Utsman meminta air wudlu. Ia membasuh kedua telapak tangannya tiga kali lalu berkumur dan menghisap air dengan hidung dan menghembuskannya keluar kemudian membasuh wajahnya tiga kali. Lalu membasuh tangan kanannya hingga siku-siku tiga kali dan tangan kirinya pun begitu pula. Kemudian mengusap kepalanya lalu membasuh kaki kanannya hingga kedua mata kaki tiga kali dan kaki kirinya pun begitu pula. Kemudian ia berkata: Saya melihat Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam berwudlu seperti wudlu-ku ini. (Muttafaq Alaihi).[19]
   Kemudian contoh ijma’ yang didasarkan pada al Qur’an adalah kesepakatn ulama atas keharaman menikahi nenek dan cucu perempuan. Kesepakatan itu dilandaskan atas ayat 23 surat an Nisaa’ yang berarti, Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Para ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan kata ummahat dalam ayat tersebut mencakup ibu kandung dan nenek, dan kata banat dalam ayat tersebut mencakup anak perempuan dan cucu perempuan.[20]
Dan sedangkan salah satu contoh dari qiyas adalah meminum khamar adalah kasus yang ditetapkan hukumnya olah nash yaitu pengharaman yang ditunjukkan oleh firman Allah, yaitu:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأنْصَابُ وَالأزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (QS. Al Maidah : 90)
Karena suatu illat yaitu memabukkan, maka setiap minuman keras yang terdapat padanya illat memabukkan disamakan dengan khamar mengenai hukumnya dan haram meminumnya.[21]





PENUTUP

A.        Kesimpulan

Al Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara tawatur  melalui Malaikat Jibril sebagai mukjizat dan petunjuk hidup seluruh manusia yang diawali dengan surat al Fatihah dan diakhiri dengan surat al Ikhlash serta berpahala bagi yang membaca atau yang mendengar bacaannya. Fungsi al Qur’an adalah sebagai bukti kebenaran Nabi Muhammad saw. dan bukti bahwa semua ayatnya benar-benar dari  Allah swt. Kedua fungsi tersebut paling tidak ada dua aspek dalam al Qur’an itu sendiri, yaitu isi dan kandungannya yang sangat lengkap san sempurna, keindahan bahasanya dan ketelitian redaksinya, kebenaran berita-berita gaibnya, dan isyarat-isyarat ilmiahnya.
Hadits atau sunah dalam ilmu ushul fiqh adalah segala sesuatu yang diriwayatkan Nabi Muhammad saw. baik berupa segala perkataan, perbuatan, dan pengakuan yang patut dijadikan dalil hukum syara’. Fungsi hadits secara umum, sebagai sumber hukum islam yang kedua setelah al Qur’an adalah menguraikan segala sesuatu yang disampaikan dalam al Qur’an yang masih global, singkat, dan samar.
Ijma’ adalah kesepakatan seluruh para mujtahid di kalangan umat islam pada suatu masa setelah Rasulullah saw. wafat atas hukum syara’ mengenai suatu kejadian. Ijma memiliki fungsi untuk menguatkan Al Quran dan Sunnah serta menolak kemungkinan terjadinya kesalahan dalam dalil yang dzonni sehingga menjadi qoth’i.
Qiyas adalah menghubungkan sesuatu yang tidak ada ketentuan hukumnya dengan sesuatu yang ada ketentuan hukumnya karen ada persamaan illat antara keduanya. Qiyas memiliki fungsi yang hampir sama dengan ijma’. Ia menjadi solusi terakhir ketika suatu permasalahan tidak ditemukan di dalam al Qur’an, hadis, dan permasalahan itu belum disepakati para ulama.

B.        Penutup

Di bawah genggaman kuasa Allah swt. dan limpahan nikmat-Nya yang tak terhingga, para penulis memanjatkan puji dan syukur dari lubuk jiwa ke hadirat Allah swt. yang telah memberi anugerah terindah kepada para penulis, sehingga dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul  “Sumber Hukum Primer Dalam Islam” tepat pada waktunya.
Para penulis tentunya sudah berusaha maksimal dalam memanfaatkan  waktu untuk menuangkan segala pikiran dan pengetahuan ke dalam makalah ini. Para penulis tidak lupa memohon ampun kepada Allah swt., atas kesalahan-kesalahan kami dalam penulisan makalah ini. Dan tentunya, kritik dan saran sangat penulis harapkan, guna perbaikan di masa mendatang. Dan harapan para penulis, semoga makalah ini sangat bermanfaat bagi para penulis, teman-teman, masyarakat, dan semua pihak yang membaca makalah ini. Amien Ya Rabbal Alamin...


 
DAFTAR PUSTAKA

Al Asqolani , Ibnu Hajar, Bulughul Maram. Mesir:Darul Atsar, 2007.
Al khatib, Muhammad ‘Ajaj. Ushul al Hadits. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007.
Al Qattan, Manna’ Khalil. Studi Ilmu-ilmu al Qur’an. Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2009.
Effendi, Satria. Ushul Fiqh. Jakarta: Prenada Media Group, 2008.
Hakim, Abdul Hamid. Mabadi’ Awaliyah. Jakarta: Sa’adiyah Putra.
Hamid, Syamsul Rijal. Buku Pintar Agama Islam. Bogor: Cahaya Salam, 2010.
http://draftmuslim.wordpress.com/2007/03/01/pokok-sumber-aqidah/
Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushul Fiqh. Semarang: Dina Utama Semarang, 1994.
Khon, Abdul Majid. Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah, 2009.


                [1] Manna’ Khalil al Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an (Bogor:Pustaka Litera Antar Nusa, 2009), h. 15.
                [2] Syamsul Rijal Hamid, Buku Pintar Agama Islam (Bogor:Cahaya Salam, 2010), h. 211.
                [3] Satria Effendi, Ushul Fiqh (Jakarta:Prenada Media Group, 2008), h. 79.
                [4] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh (Semarang:Dina Utama Semarang, 1994), h. 18.
                [5] Al Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, h. 17.
                [6] Quraish Shihab, M. Quraish Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman Yang Patut Anda Ketahui (Jakarta:Lentera Hati, 2009), h. 275.
                [7] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta:Amzah, 2009), h. 6.
                [8] Muhammad ‘Ajaj al Khatib, Ushul al Hadits (Jakarta:Gaya Media Pratama, 2007), h. 2.
                [9] Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, h. 56.
                [10] Effendi, Ushul Fiqh, h. 125.
                [11] Abdul Hamid Hakim, Mabadi’ Awaliyah (Jakarta:Sa’adiyah Putra), h. 18.
                [12] Hakim, Mabadi’ Awaliyah, h. 19.
                [13] Effendi, Ushul Fiqh, h. 130.
                [14] Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, h. 66.
                [15] Hamid, Buku Pintar Agama Islam, h. 213-215.
                [16] Khon, Ulumul Hadis, h. 16-19.
                [17]Effendi, Ushul Fiqh, h. 123.
                [18] http://draftmuslim.wordpress.com/2007/03/01/pokok-sumber-aqidah/
                [19] Ibnu Hajar al Asqolani, Bulughul Maram (Mesir:Darul Atsar, 2007), h. 70.
                [20] Effendi, Ushul Fiqh, h. 127-128.
                [21] Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, h. 66-67.

Syair Rabiah al Adawiyah

Tuhanku, tenggelamkan aku dalam cinta-Mu
Hingga tak ada sesuatupun yang menggangguku dalam jumpa-Mu
Tuhanku, bintang-gemintang berkelap-kelip
Manusia terlena dalam buai tidur lelap
Pintu-pintu istana pun telah rapat tertutup
Tuhanku, demikian malampun berlalu
Dan inilah siang datang menjelang
Aku menjadi resah gelisah
Apakah persembahan malamku Kau Terima
Hingga aku berhak mereguk bahagia
Ataukah itu Kau Tolak, hingga aku dihimpit duka,
Demi kemahakuasaan-Mu lah
Inilah yang akan selalu ku lakukan
Selama Kau Beri aku kehidupan
Demi kemanusiaan-Mu,
Andai Kau Usir aku dari pintu-Mu
Aku tak akan pergi berlalu
Karena cintaku pada-Mu sepenuh kalbu
***********
Ya Allah, apa pun yang akan Engkau
Karuniakan kepadaku di dunia ini,
Berikanlah kepada musuh-musuh-Mu
Dan apa pun yang akan Engkau
Karuniakan kepadaku di akhirat nanti,
Berikanlah kepada sahabat-sahabat-Mu
Karena Engkau sendiri, cukuplah bagiku
***********
Aku mengabdi kepada Tuhan
Bukan karena takut neraka
Bukan pula karena mengharap masuk surga
Tetapi aku mengabdi,
Karena cintaku pada-Nya
Ya Allah, jika aku menyembah-Mu
Karena takut neraka, bakarlah aku di dalamnya
Dan jika aku menyembah-Mu
Karena mengharap surga, campakkanlah aku darinya
Tetapi, jika aku menyembah-Mu
Demi Engkau semata,
Janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajah-Mu
Yang abadi padaku
***********
Ya Allah
Semua jerih payahku
Dan semua hasratku di antara segala
Kesenangan-kesenangan
Di dunia ini, adalah untuk mengingat Engkau
Dan di akhirat nanti, diantara segala kesenangan
Adalah untuk berjumpa dengan-Mu
Begitu halnya dengan diriku
Seperti yang telah Kau katakan
Kini, perbuatlah seperti yang Engkau Kehendaki
***********
Aku mencintai-Mu dengan dua cinta
Cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu
Cinta karena diriku, adalah keadaan senantiasa mengingat-Mu
Cinta karena diri-Mu, adalah keadaan-Mu mengungkapkan tabir
Hingga Engkau ku lihat
Baik untuk ini maupun untuk itu
Pujian bukanlah bagiku
Bagi-Mu pujian untuk semua itu
***********
Buah hatiku, hanya Engkau yang kukasihi
Beri ampunlah pembuat dosa yang datang kehadirat-Mu
Engkaulah harapanku, kebahagiaan dan kesenanganku
Hatiku telah enggan mencintai selain dari Engkau
***********
Hatiku tenteram dan damai jika aku diam sendiri
Ketika Kekasih bersamaku
Cinta-Nya padaku tak pernah terbagi
Dan dengan benda yang fana selalu mengujiku
Kapan dapat kurenungi keindahan-Nya
Dia akan menjadi mihrabku
Dan rahasia-Nya menjadi kiblatku
Bila aku mati karena cinta, sebelum terpuaskan
Akan tersiksa dan lukalah aku di dunia ini
O, penawar jiwaku
Hatiku adalah santapan yang tersaji bagi mau-Mu
Barulah jiwaku pulih jika telah bersatu dengan-Mu
O, sukacita dan nyawaku, semoga kekal lah
Jiwaku, Kau lah sumber hidupku
Dan dari-Mu jua birahiku berasal
Dari semua benda fana di dunia ini
Dariku telah tercerah
Hasratku adalah bersatu dengan-Mu
Melabuhkan rindu
***********
Sendiri daku bersama Cintaku
Waktu rahasia yang lebih lembut dari udara petang
Lintas dan penglihatan batin
Melimpahkan karunia atas do’a ku
Memahkotaiku, hingga enyahlah yang lain, sirna
Antara takjub atas keindahan dan keagungan-Nya
Dalam semerbak tiada tara
Aku berdiri dalam asyik-masyuk yang bisu
Ku saksikan yang datang dan pergi dalam kalbu
Lihat, dalam wajah-Nya
Tercampur segenap pesona dan karunia
Seluruh keindahan menyatu
Dalam wajah-Nya yang sempurna
Lihat Dia, yang akan berkata
“Tiada Tuhan selain Dia, dan Dialah Yang maha Mulia.”
***********
Rasa riangku, rinduku, lindunganku,
Teman, penolong dan tujuanku,
Kaulah karibku, dan rindu pada-Mu
Meneguhkan daku
Apa bukan pada-Mu aku ini merindu
O, nyawa dan sahabatku
Aku remuk di rongga bumi ini
Telah banyak karunia Kau berikan
Telah banyak..
Namun tak ku butuh pahala
Pemberian ataupun pertolongan
Cinta-Mu semata meliput
Rindu dan bahagiaku
Ia mengalir di mata kalbuku yang dahaga
Adapun di sisi-Mu aku telah tiada
Kau bikin dada kerontang ini meluas hijau
Kau adalah rasa riangku
Kau tegak dalam diriku
Jika akku telah memenuhi-Mu
O, rindu hatiku, aku pun bahagia

Israiliyat

PENDAHULUAN


            Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, yang telah mencurahkan rahmat dan kasih sayang Nya kepada seluruh manusia. Tuhan yang memperbuat apa saja yang dikehendak Nya, yang Besar dan Tinggi, yang Tunggal, dan tidak sesuatu pun yang menyerupai Nya.
            Shalawat dan Salam dimohonkan untuk penghulu kita, Imam sekalian Rasul, Nabi yang paling akhir yang diutus Tuhan untuk menjadi saksi, pembawa kabar gembira untuk hamba-hamba Nya yang saleh dan membawa kabar duka untuk umat yang durhaka. Rasul yang memanggil umat ke jalan Allah dan menjadi pelita bagi seluruh manusia di kegelapan zaman, yaitu Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
            Kaum Yahudi dan Nasrani adalah dua kaum yang kita kenal sebagai Ahli Kitab. Nasrani Yahudi mempunyai pengetahuan keagamaan yang bersumber dari Taurat dan kaum Nasrani pun mempunyai pengetahuan yang bersumber dari Injil. Cukup banyak kaum Yahudi dan Nasrani yang bernaung dibawah panji-panji Islam sejak Islam lahir, sedangkan mereka tetap memelihara baik pengetahuan agamanya yang terdahulu.
            Sementara itu Alquran banyak mencakup hal-hal yang terdapat dalam Taurat dan Injil, khususnya yang berhubungan dengan kisah para nabi dan berita umat terdahulu. Namun dalam Alquran kisah-kisah tersebut hanya dikemukakan secara singkat dengan menitikberatkan pada aspek-aspek nasehat dan pelajaran, tidak mengemukakan secara rinci dan mendetail seperti titimangsa peristiwa, nama-nama negeri, dan nama-nama pribadi. Sedang Taurat dan Injil mengemukakannya secara panjang lebar dengan menjelaskan rincian dan bagian-bagiannya. Ketika Ahli Kitab masuk Islam, mereka membawa pula pengetahuan keagamaan mereka berupa cerita dan kisah-kisah keagamaan. Dan disaat membaca kisah-kisah dalam Alquran terkadang mereka paparkan rincian kisah itu yang terdapat dalam kitab-kitab mereka.
            Karena itu, pada makalah ini pemakalah akan menguraikan sedikit pengetahuan tentang israiliyat yang mudah-mudahan dapat meluruskan pemahaman kita terhadap Alquran. Dalam makalah ini akan diuraikan pengertian israiliyat dan latar belakang muncul serta perkembangannya. Para ulama pun berbeda pendapat mengenai israiliyat. Sehingga sangat penting bagi pemakalah untuk menguraikan perbedaan pendapat tersebut yang disertai pembagian, pengaruh dan beberapa contoh israiliyat.
PEMBAHASAN


A.      Pengertian Israiliyat
            Tentunya banyak pengertian israiliyat yang diungkapkan oleh para ulama Ulumul Quran. Dan berikut akan penulis paparkan beberapa diantara sekian pengertian tersebut. Menurut etimologinya, israiliyat berasal dari kata israil yang merupakan kata nisbah kepada Bani Israil. Israil berasal dari Bahasa Ibrani yang berarti hamba Allah, dipakai sebagai nama lain Nabi Yaqub. Bani Israil adalah keturunan Nabi Yaqub yang menurunkan banyak Nabi, diantaranya Nabi Musa as. dan Nabi Isa as. Israiliyat menurut terminologinya budaya Yahudi yang bersumber kepada Taurat, Zabur, Asfar Musawiyah dan Talmud termasuk seluruh keterangannya yang penuh dengan dongeng dan khurafat serta abatil yang mereka kembangkan dari masa ke masa.[1]
            Pendapat lain mengatakan bahwa secara etimologis, israiliyat adalah bentuk jamak dari kata tunggal israiliyah, yaitu bentuk kata yang disandarkan pada kata Israil (bahasa Ibrani ; isra yang berarti hamba dan il yang bermakna Tuhan). Dalam perspektif historis, israil berkaitan erat dengan Nabi Yaqub bin Ishaq bin Ibrahim a.s., di mana keturunan beliau yang berjumlah dua belas itu disebut Bani Israil.  Sedangkan secara terminologis, israiliyat merupakan sesuatu yang menyerap kedalam tafsir dan hadis, di mana periwayatannya berkaitan dengan sumber Yahudi dan Nasrani, baik menyangkut agama mereka atau tidak.[2]
            Dan dari sekian pengertian yang telah dipaparkan, dapat disimpilkan bahwa Israiliyat adalah kabar-kabar yang kebanyakannya dinukilkan dari orang-orang Yahudi Bani Israil dan sebagian kecil berasal dari orang-orang Nashara.
            Meskipun israiliyat banyak diwarnai oleh kalangan Yahudi, kaum Nasrani juga turut ambil bagian dalam konstelasi penafsiran versi israiliyat ini yang disebut Nashraniyat. Hanya saja dalam hal ini, kaum Yahudi lebih populer dan lebih dominan. Karenanya, kata Yahudi lebih dimenangkan lantaran selain kaum Yahudi lebih lama berinteraksi dengan umat Islam juga di kalangan mereka banyak yang masuk Islam. Penukilan dari orang Yahudi lebih banyak jumlahnya karena percampuran mereka dengan kaum Muslimin dimulai semenjak kelahiran Islam di samping hijrah pun ke Madinah, tempat orang Yahudi menentap.
             Cerita israiliyat ini sebagian besar diriwayatkan dari empat orang, yaitu abdUllah bin Salam, Ka’bul Ahbar, Wahab bin Munabbih, dan Abdul Malik bin Abdul ‘Aziz bin Juraij.[3] Wahab bin Munabbih adalah orang Yahudi dari Yaman yang masuk Islam yang banyak meriwayatkan israiliyat dan nashraniyat seperti yang terdapat dalam tafsir Ibnu Jarir al Thabary. Kemudian Ibn Juraij adalah pemuka riwayat yang meriwayatkan nashraniyat. Dia adalah bangsa Romawi yang beragama Nasrani yang kemudian memeluk Islam.[4]
           

B.       Latar Belakang Muncul dan Berkembangnya Israiliyat

            Sejak tahun 70 M kaum Ahli Kitab yang mayoritas orang Yahudi telah berimigrasi secara besar-besaran ke jazirah arab untuk menghindari tekanan dan penindasan yang dilakukan oleh Nitus, seorang panglima Romawi. Dan mereka sering mengadakan perjalanan baik ke arah barat maupun ke arah timur. Sengan demikian, banyak mempengaruhi orang-orang timur dan sebaliknya juga mempengaruhi orang-orang barat. Sementara itu, Bangsa Arab di zaman Jahiliyah juga banyak melancong ke negeri lain. Kondisi seperti ini terus berlanjut hingga Islam lahir dan berkembang di jazirah Arab.
            Kondisi dua kebudayaan ini, yaitu Yahudi dan muslim melahirkan pemikiran-pemikiran yang berbeda hingga tidak jarang terjadi dialog antara keduanya. Mereka saling bertukar pikiran ihwal masalah-masalah keagamaan. Bahkan, Rasulullah sendiri sering dihujani pertanyaan oleh orang-orang Yahudi, terutama menyangkut keabsahan beliau sebagai Nabi dan utusan. Akan tetapi, karena keabsahan Nubuwah dan risalah agama Islam berikut Alquran sebagai petunjuk hidupnya dapat dibuktikan secara konkrit, maka Rasulullah dapat menarik mereka masuk ke dalam agama Islam.
            Pada era Rasulullah, informasi dari kaum Yahudi yang dikenal sebagai israiliyat tidak banyak berkembang dalam penafsiran Alquran, sebab hanya beliau satu-satunya yang menjelaskan berbagai masalah atau pengertian yang berkaitan dengan ayat-ayat Alquran. Israiliyat sebenarnya sudah muncul dan lama berkembang di kalangan bangsa Arab jauh sebelum Rasulullah lahir, yang kemudian terus bertahan pada era Rasulullah. Hanya saja, pada waktu itu israiliyat belum menjada khazanah dalam penafsiran Alquran.
            Permasalahan yang muncul kemudian adalah bahwa sepeninggal Rasulullah, tidak seorangpun berhak menjadi penjelas wahyu Allah. Oleh karena itu, jalan yang ditempuh para sahabat adalah dengan ekstra hati-hati melakukan ijtihad sendiri, manakala mereka menjumpai masalah tersebut, seperti kisah-kisah nabi atau umat-umat terdahulu. Hal ini terjadi mengingat kadang-kadang ada persamaan antara, Alquran, Taurat, dan Injil. Hanya saja Alquran berbicara secara ringkas dan padat, sementara Taurat dan Injil  berbicara dengan panjang lebar. Sumber-sumber israiliyat yang terkenal di kalangan Yahudi adalah Abdullah bin Salam, Ka’ab bin Akhbar, Wahab bin Munabbih, dan Abdul Malik bin Abdul ‘Aziz bin Juraij. Sementara di kalangan para sahabat adalah Abu Hurairah, Ibn ‘Abbas, dan Abdullah bin Amr bin Ash. Mereka ini adalah narasumber kedua.
            Pada era sahabat inilah kisah israiliyat mulai berkembang dan tumbuh subur. Hanya saja, dalam menerima riwayat dari kalangan Yahudi dan Nasrani pada umumnya mereka amat ketat. Mereka hanya membatasi pada sekitar kisah-kisah dalam Alquran yang diterangkan secara global dan Nabi sendiri tidak menerangkan kepada mereka mengenai kisah-kisah tersebut. Di samping itu, mereka terkenal sebagai orang-orang yang konsisten dan konsekuen pada ajaran yang diterima dari Rasulullah, sehingga ketika mereka menjumpai kisah-kisah israiliyat yang bertentangan dengan syariat Islam mereka langsung menentangnya sebaliknya, apabila kisah-kisah israiliyat itu benar maka merekapun menerimanya. Dan apabila kisah-kisah itu diperselisihkan kebenarannya, mereka menangguhkannnya.
            Namun yang paling disayangkan adalah pada periode tabi’in, di mana seringkali terjadi penafsiran atau periwayatan yang tidak selektif dalam artian banyak periwayatan hadis tidak melalui jalur “kode etik metodologi penelitian”  ilmu-ilmu hadis dengan tanpa menuliskan sanadnya secara lengkap. Akibatnya banyak muncul periwayatan dalam penafsiran yang terkena ilfiltrasi israiliyat. Tokoh penting yang banyak meriwayatkan israiliyat pada periode ini, di antaranya adalah Ka’ab al Akhbar dan Wahab bin Munabbih.[5]


C.      Macam-macam Israiliyat dan Contohnya

            Israiliyat memiliki beberapa macam yang didasarkan pada dua tinjauan. Israiliyat apabila ditinjau dari syariat Islamiyah, dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
1.        Kisah yang dibenarkan oleh Islam atau Khabariyah al Shidqu, yaitu israiliyat yang bisa dibenarkan isinya, yaitu apabila isinya sesuai dengan kandungan alquran dan sunah nabi.  Contohnya: Imam Al-Bukhari dan yang lainnya meriwayaatkan dari Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu, dia mengatakan: “Datang salah seorang pendeta Yahudi kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, dia berkata: ‘Wahai Muhammad, sesungguhnya kami menjumpai (dalam kitab suci kami) bahwa Allah ‘Azza wa Jalla akan meletakkan semua langit di atas satu jari, semua bumi di atas satu jari, pohon-pohon di atas satu jari, air di atas satu jari, tanah di atas satu jari dan seluruh makhluk di atas satu jari, maka Allah berfirman: ‘Akulah Raja.’’ Mendengar hal tersebut, tertawalah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sehingga nampak gigi-gigi geraham beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam karena membenarkan ucapan pendeta Yahudi itu. Kemudian beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah ‘Azza wa Jalla:
وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَالأرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّماوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ.
                        “Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Tuhan dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.” {QS. Al-Zumar (39): 67}
2.        Kisah yang diingkari oleh Islam dan dipersaksikan bahwa kisah tersebut adalah dusta atau Khabar al Kidzbu, yaitu israiliyat yang jelas isinya bertentangan dengan Alquran dan sunah atau jelas kebohongannya dan kekhurafatannya. Maka ini adalah bathil. Contohnya, Imam Bukhari meriwayatkan dari Jabir radhiyallaahu ‘anhu bahwa dia berkata: “Dahulu orang Yahudi apabila ‘mendatangi’ istrinya dari belakang berkata: ‘Anaknya nanti bermata juling’, maka turunlah firman Allah ‘Azza wa Jalla:
نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ.
            “Istri-istrimu adalah seperti tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tempat bercocok tanammu bagaimana saja kamu menghendaki.” {QS. Al-Baqarah (2): 223}
3.   Kisah yang Islam tidak membenarkan tidak pula mengingkarinya atau Khabar al Shidqu wal Kidzbu, yaitu israiliyat yang tidak diketahui benar atau tidaknya. Yang seperti ini tidak perlu diyakini atau didustakan dan kita wajib mendiamkannya. Berdasarkan hadits yang telah diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu bahwa dia berkata: “Dahulu Ahlul Kitab membaca Taurat dengan Bahasa Ibrani dan mereka menafsirkannya untuk orang-orang Islam dengan bahasa Arab, maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jangan kalian benarkan Ahlul Kitab dan jangan kalian dustakan mereka namun katakanlah: آمَنَّا بِاللهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ  (Kami beriman kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan pada apa yang telah diturunkan kepada kami dan apa yang telah diturunkan kepada kalian).”
                        Bercerita dengan kabar seperti ini boleh apabila tidak ditakutkan menyebabkan terjatuhnya seseorang ke dalam larangan, karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat dan tidak mengapa kalian menceritakan tentang Bani Israil. Barangsiapa sengaja berdusta atas namaku maka hendaklah dia menyiapkan tempat duduknya di neraka.” (HR. Al-Bukhari)
                        Kebanyakan berita yang diriwayatkan dari Ahlul Kitab dalam hal ini tidak mempunyai manfaat untuk urusan agama, seperti penetuan warna anjing Ashhabul Kahfi dan yang lainnya.
                        Adapun bertanya kepada Ahlul Kitab tentang suatu perkara agama maka hukumnya haram, berdasarkan hadits yang telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jangan kalian bertanya sesuatu kepada Ahlul Kitab karena mereka tidak akan memberi petunjuk bagi kalian dan sungguh mereka telah tersesat, karena bisa jadi kalian akan membenarkan sesuatu yang batil atau mendustakan yang haq. Seandainya Musa ‘alaihis salaam hidup di antara kalian, maka tidak halal baginya kecuali mengikutiku.”
                        Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma bahwa dia berkata: “Wahai kaum muslimin! Bagaimana kalian bisa bertanya sesuatu kepada Ahlul Kitab sedangkan Al-Qur’an yang Allah ‘Azza wa Jalla turunkan kepada Nabi kalian telah menceritakan sesuatu yang benar dan murni tentang Allah ‘Azza wa Jalla. Allah ‘Azza wa Jalla telah memberitahukan kepada kalian bahwa Ahlul Kitab telah mengganti dan merubah isi Al-Kitab kemudian mereka menulisnya sendiri dengan tangan-tangan mereka, lalu berkata ‘Ini berasal dari Allah ‘Azza wa Jalla’, dengan maksud untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatannya. Tidakkah pengetahuan kalian tentang (pengkhiatan) mereka itu memalingkan kalian dari bertanya kepada mereka. Lalu, sekali-kali tidak demi Allah! Tidak pernah kami melihat seorangpun dari Ahli Kitab bertanya kepada kalian tentang apa yang telah diturunkan kepada kalian.”[6]
            Sedangkan israiliyat apabila ditinjau dari riwayat cerita israiliyat terbagi menjadi dua, yaitu:
1.        Cerita shahih, contohnya apa yang diungkapkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya: Dari Ibnu Jarir: telah menceritakan kepada kamu Mutsani dari Usman bin Umar dari Fulaih dari Hilal bin Ali dari Atha bin Yasir, ia berkata: aku telah bertemu dengan Abdullah bin Amr dan berkata kepadanya: ceritakanlah olehmu tentang sifat Rasulullah Saw. yang diterangkan di dalam Kitab Taurat! Ia berkata: Ya demi Allah, sesungguhnya sifat Rasulullah di dalam Taurat sama seperti yang diterangkan di dalam Alquran: Wahai Nabi sesungguhnya Kami mengutusmu sebagai saksi, pemberi kabar gembira, pemberi peringatan”, dan pemelihara orang-orang yang ummi. Engkau adalah hambaKu dan rasulKu, namamu yang dukagumi, engkau tidak kasar dan tidak pula keras. Allah tidak akan mencabut nyawanya sebelum agama Islam tegak dan lurus, yaitu dengan ucapan “Tiada Tuhan yang patut disembah dengan sebenarnya kecuali Allah...dst.” Imam Ibnu Katsir telah mengaitkan riwayat ini dengan pernyataannya: Bahwasannya Imam Bukhari telah meriwayatkan berita ini dalam kitab shahihnya Muhammad bin Sinan, dari Fulaih, dari Hilal bin Ali, ia menceritakan sanadnya, seperti yang telah disebutkan, tetapi ia menambah setelah ucapannya “Bahwa Nabi itu tidak kasar dan keras” yaitu ucapannya “Dan bagi sahabt-sahabatnya di pasar-pasar, ia tidak pernah membalas keburukan dengan keburukan, akan tetapi memaafkan dan mengampuni.”
2.        Cerita dhaif, contohnya adalah atsar yang diriwayatkan oleh al Razi dan dinukil oleh Ibnu Katsir dalam Q.S. Qaf (50), ia berkata: Sesungguhnya atsar tersebut adalah atsar gharib dan tidak shahih, ia menganggapnya sebagai cerita khurafat Bani Israil”, ketika menafsirkan:
وَالْبَحْرُ يَمُدُّهُ مِنْ بَعْدِهِ سَبْعَةُ أَبْحُرٍ.
            “Dan laut, ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudahnya” {QS. Luqman (31): 27}

                        Dalam atsar itu disebutkan: Ibnu Abu Hatim berkata, telah berkata ayahku, ia berkata: Aku mendapat berita dari Muhammad bin Ismail al Makhzumi, telah menceritakan kepadaku Laits bin Abu Sulaim, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas ra. ia berkata: Allah Swt. telah menciptakan di bawah ini laut melingkupnya, di dasar laut ia menciptakan sebuah gunung yang disebut gunung Qaf. Langit dunia ditegakkan dia atasnya. Di bawah gunung tersebut Allah menciptakan bumi seperti bumi ini, yang jumlahnya tujuh lapis. Kemudian di bawahnya ia menciptakan sebuah gunung lagi, yang juga bernama gunung Qaf. Langit jenis kedua diciptakan di atasnya. Sehingga jumlah semuanya: tujuh lapis bumi, tujuh lautan, tujuh gunung, dan tujuh lapis langit.[7]


D.      Pendapat Ulama Tentang Israiliyat

            Para ulama, khususnya ahli tafsir berbeda pendapat mengenai sikap terhadap Israiliyat ini. Diantara perbedaan-perbedaan pendapat tersebut adalah sebagai berikut:
1.         Di antara mereka ada yang memperbanyak berbicara tentangnya dengan dirangkai dengan sanad-sanadnya. Pendapat ini berpandangan bahwa dengan menyebut sanadnya, berarti ia telah berlepas diri dari tanggung jawab atasnya. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Ibn Jarir ath-Thabari.
2.         Di antara mereka ada yang memperbanyak berbicara tentangnya dan biasanya menanggalkan sama sekali sanad-sanadnya. Ini seperti pencari kayu bakar di malam hari. Cara seperti ini dilakukan al-Baghawi di dalam tafsirnya yang dinilai oleh Syaikhul Islam Ibn Taimiyah sebagai ringkasan dari tafsir al-Tsa’alabi. Hanya saja, al-Baghawi memproteksinya dari dimuatnya hadits-hadits palsu dan pendapat-pendapat yang dibuat-buat. Syaikhul Islam Ibn Taimiyah menyebut al-Tsa’alabi sebagai seorang pencari kayu bakar di malam hari di mana ia menukil apa saja yang terdapat di dalam kitab-kitab tafsir baik yang shahih, dha’if mau pun yang mawdhu’ (palsu).
3.      Di antaranya mereka ada yang banyak sekali menyinggungnya dan mengomentari sebagiannya dengan menyebut kelemahannya atau mengingkarinya atau meriwayatkan kisah-kisah ini lalu ada ulama yang mengkritik sebagian riwayatnya bahwa itu dhaif atau mungkar seperti yang dilakukan Ibn Katsir.
4.      Di antara mereka ada yang berlebih-lebihan di dalam menolaknya dan tidak menyebut sesuatu pun darinya sebagai tafsir Alquran seperti yang dilakukan Muhammad Rasyid Ridha.[8]

E.       Pengaruh israiliyat
            Pada konteks tertentu, dalam penafsiran Alquran helas sekali terdapat kerinduan pada kisah-kisah dan mitologi-mitologi. Oleh karena itu, kaum mukmin berniat mengetahui cerita tersebut secara lebih dekat. Tidak diragukan lagi, pengkajian dan penelaahan ilmiah yang mereka lakukan mempunyai implikasi cukup jauh dalam menjelaskan secara rinci tentang legislasi-legislasi hukum Islam. Maka lahirlah komunitas orang yang ahli dalam kitab-kitab terdahulu. Mereka berusaha menutupi celah-celah yang ada dala alquran dengan apa yang mereka pelajari dari hasil interaksinya dengan penganut Yahudi dan Nasrani.          
            Sudah barang tentu, infiltrasi israiliyat ke dalam penafsiran Alquran terutama yang bertentangan dengan prinsip asasinya banyak menimbulkan pengaruh negatif pada Islam. Diantaranya adalah sebagai berikut:
1.      Merusak akidah umat Islam, seperti yang dikemukakan oleh Muqtil atau Ibn Jarir tentang kisah Nabi Daud a.s. dengan istri panglima (Uria) dan kisah Nabi Muhammad dengan Zainab binti Jahsyi, yang keduanya mendiskreditkan pribadi Nabi yang maksum serta mengambarkan Nabi sebagai pemburu nafsu seksual.
2.      Memberi kesan bahwa Islam itu agama khurafat, takhayul dan menyesatkan. Hal ini tampak pada riwayat al qurthubi ketika menafsirkan firman Allah,
الَّذِينَ يَحْمِلُونَ الْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ.
            “Para Malaikat pemikul ‘arsy dan yang disekitarnya sama-sama bertasbih memuji tuhannya...” {QS. al Mu’min (40): 7} dengan mengatakan, “kaki Malaikat pemikul ‘arsy itu berada di bumi paling bawah, sedangkah kepalanya menjulang ke ‘arsy.
3.      Riwayat-riwayat tersebut hampir menghilangkan rasa kepercayaan pada sebagian ulama salaf, baik dari kalangan sahabat maupun tabi’in seperti Abu Hurairah, Abdullah bin Salam, dan Wahab bin Munabbih.
4.      Memalingkan perhatian umat Islam dalam mengkaji soal-soal keilmuan Islam. Dengan larutnya umat Islam ke dalam keasyikan menikmati kisah-kisah israiliyat, mereka tidak lagi antusias memikirkan hal-hal makro, seperti sibuk dengan nama dan anjing Ashabul Kahfi, jenis kayu dari tongkat Nabi Musa as., nama binatang yang diikutsertakan dalam perahu Nabi Nuh as. Dan sebagainya di mana perincian itu tidak bermanfaat. Sekiranya bermanfaat, alquran tentu akan menjelaskannya. Dan yang paling memperhatikan adalah bahwa pengaruh israiliyat dalam penafsiran alquran menimbulkan sikap apriori peminat almu tafsir pada kitab tafsir, lantaran khawatir bahwa semua kitab itu berasal dari sumber yang sama.

PENUTUP


A.      Kesimpulan
            Israiliyat adalah kabar-kabar yang kebanyakannya dinukilkan dari orang-orang Yahudi Bani Israil dan sebagian kecil berasal dari orang-orang Nashara. Meskipun israiliyat banyak diwarnai oleh kalangan Yahudi, kaum Nasrani juga turut ambil bagian dalam konstelasi penafsiran versi israiliyat ini yang disebut Nashraniyat. Hanya saja dalam hal ini, kaum Yahudi lebih populer dan lebih dominan dan memiliki jumlah penukilannya lebih banyak.
            Israiliyat memiliki beberapa macam yang didasarkan pada dua tinjauan. Israiliyat apabila ditinjau dari syariat Islamiyah, dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
Ø  Kisah yang dibenarkan oleh Islam atau Khabariyah al Shidqu
Ø  Kisah yang diingkari oleh Islam dan dipersaksikan bahwa kisah tersebut adalah dusta atau Khabar al Kidzbu
Ø  Kisah yang Islam tidak membenarkan tidak pula mengingkarinya atau Khabar al Shidqu wal Kidzbu
            Sedangkan israiliyat apabila ditinjau dari riwayat cerita israiliyat terbagi menjadi dua, yaitu cerita shahih dan cerita dhoif. Dan banyak terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama mengenai sikap terhadap israiliyat. Ada yang menerima dan ada yang menolaknya. Munculnya israiliyat tidak lepas dari kondisi sosio-kultural masyarakat Arab pra Islam yang telah lama berinteraksi dengan budaya Yahudi. Selanjutnya Nabi sendiri memberi lampu hijau untuk meriwayatkan sesuatu dari Ahli Kitab. Oleh karena itu tidak semua israiliyat mengandung hal yang bathil.
            Berkembangnya israiliyat mulai pada era sahabat dan tabi’in. Namun disayangkan pada era ini banyak periwayatan yang tidak dibarengi dengan asoek metodologisnya, sehingga tidak jarang terjadi penyerapan israiliyat yang berbahaya. Oleh karena itu perlu dicarikan langkah-langkah pemecahan yang mungkin dapat dilaksanakan. Langkah alternatif bagi pemecahan di atas dilaksanakan oleh orang yang hendak menafsirkan Alquran, atau dengan cara menyeleksikitab-kitab tafsir dari pengaruh israiliyat yang berbahaya.

B.       Penutup

            Di bawah genggaman kuasa Allah swt. dan limpahan nikmat Nya yang tak terhingga, para penulis memanjatkan puji dan syukur dari lubuk jiwa ke hadirat Allah swt. yang telah memberi anugerah terindah kepada para penulis, sehingga dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul  “Israiliyat” tepat sebelum tiba waktu yang ditentukan.
            Penulis tentunya sudah berusaha maksimal dalam memanfaatkan  waktu untuk menuangkan segala pikiran dan pengetahuan ke dalam makalah ini. Para penulis tidak lupa memohon ampun kepada Allah swt. atas kesalahan-kesalahan kami dalam penulisan makalah ini. Dan tentunya, kritik dan saran sangat penulis harapkan, guna perbaikan di masa mendatang. Dan harapan para penulis, semoga makalah ini sangat bermanfaat bagi para penulis, teman-teman, masyarakat, dan semua pihak yang membaca makalah ini. Amien Ya Rabbal Alamien...


DAFTAR PUSTAKA



Al Qattan, Manna’ Khalil. Studi Ilmu-ilmu Alquran. Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa,     2009.

Al Shiddieqy, Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Alquran. Jakarta: PT Bulan Bintang, 1994.

Hamid, Shalahuddin. Study Ulumul Quran. Jakarta: Intermedia, 2002.

http://almuslimah.wordpress.com/2009/08/28/kisah-kisah-israiliyat-dalam-pandangan-islam/

Sukardi. Belajar Mudah Ulumul Quran. Jakarta: Lentera, 2002.



                [1]Shalahuddin Hamid, Study Ulumul Quran (Jakarta: Intermedia, 2002), h. 350.
                [2] Sukardi, Belajar Mudah Ulumul Quran (Jakarta: Lentera, 2002), h. 277.
                [3] Manna’ Khalil al Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an (Bogor:Pustaka Litera Antar Nusa, 2009), h. 493.
                [4] Hasbi al Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Alquran (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1994), h. 222.
                [5] Sukardi, Belajar Mudah Ulumul Quran, h. 277-280.
                [6]  http://almuslimah.wordpress.com/2009/08/28/kisah-kisah-israiliyat-dalam-pandangan-islam/

                [7]Hamid, Study Ulumul Quran, h. 351-352.
                [8] www.alsofwah.or.id