motto hidup

sebaik-baik segala sesuatu adalah pertengahannya.
merenungi apa yang akan terjadi pada senyuman kedua orang tuaku, apabila aku gagal.

Selasa, 03 Januari 2012

Nasikh wal Mansukh

PENDAHULUAN

            Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, yang telah mencurahkan rahmat dan kasih sayang Nya kepada seluruh manusia. Tuhan yang memperbuat apa saja yang dikehendak Nya, yang Besar dan Tinggi, yang Tunggal, dan tidak sesuatu pun yang menyerupai Nya.
            Shalawat dan Salam dimohonkan untuk penghulu kita, Imam sekalian Rasul, Nabi yang paling akhir yang diutus Tuhan untuk menjadi saksi, pembawa kabar gembira untuk hamba-hamba Nya yang saleh dan membawa kabar duka untuk umat yang durhaka. Rasul yang memanggil umat ke jalan Allah dan menjadi pelita bagi seluruh manusia di kegelapan zaman, yaitu Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
            Perjalanan waktu mengiringi perkembangan alam dan manusia yang menyebabkan berbagai macam keragaman, baik suku, bangsa, bahasa, kebiasaan atau adat, kebutuhan, dan lain sebagainya. Sedangkan Alquran telah menjelaskan bahwa islam adalah agama bagi semesta alam. Artinya islam bersifat global yang berisi aturan dan pedoman untuk makhluk di seluruh alam semesta. Kebutuhan manusia di tempat yang berbeda mesti berbeda pula. Adat di suatu tempat belum tentu sama dengan adat di tempat lain. Begitu juga manusia zaman dahulu mesti memiliki kebutuhan dan adat yang berbeda dengan manusia saat ini. Oleh karena itu, wajarlah jika Allah menghapus suatu hukum dengan hukum lain untuk menjaga kepentingan para hamba Nya berdasarkan pengetahuan Nya tentang yang pertama dan terakhir.
            Sesuai dengan sedikit penjelasan di atas, pada makalah ini kami akan mengangkat salah satu bab dalam ulumul qur’an yaitu nasikh dan mansukh dengan beberapa sub babnya. Pada tema ini kami akan menjelaskan beberapa sub bab, yaitu pengertian nasakh, syarat-syarat adanya nasakh, perbedaan nasakh dan takhshish, dan pemahaman terhadap perbedaan pendapat tentang ayat Alquran yang mansukh. Tentunya kami tidak hanya terpaku dengan sub bab yang telah ditentukan, dengan harapan makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih kepada para pembaca mengenai bab ini.
                                                                                                            Jakarta, 28 Maret 2011
                                                                                                            Penulis 
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Nasakh

Secara bahasa nasakh berasal dari kata نسخ – ينسخ – نسخ yang memiliki beberapa arti, yaitu sebagai berikut:
1.        Nasakh berarti izalah (menghilangkan), contohnya ونسخت الريح اثر المشي artinya, angin menghilangkan jejak perjalanan.
2.        Nasakh berarti memindahkan atau menukilkan dari suatu tempat ketempat lain, contohnya:
 . إِنَّا كُنَّا نَسْتَنْسِخُ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Kami memindahkan amal perbuatan ke dalam lembaran. {al Jasiyah (45):29}.[1]
3.        Nasakh berarti tabdil (mengganti atau menukar), contohnya:
. وَإِذَا بَدَّلْنَا آيَةً مَكَانَ آيَةٍ   
Dan apabila kami mengganti atau menukar sesuatu ayat di tempat suatu ayat yang lain. {an Nahl (16): 101}
4.        Nasakh berarti tahwil (memalingkan), seperti memalingkan pusaka dari seseorang kepada orang lain.[2]
Sedangkan nasakh secara istilah memiliki pengertian yang beragam, para ulama pun memiliki definisi yang berbeda-beda walaupun maksudnya hampir sama, diantaranya ada yang mendefinisikan penghapusan hukum syara dengan khitab syara dan ada pula yang mendifinisikan, penghapusan hukum syara dengan dalil syara yang lain. Ulama-ulama mutaqaddimin bahkan memperluas arti nasakh hingga mencakup:
1.             Pembatalan hukum yang ditetapkan oleh hukum yang ditetapkan kemudian.
2.             Pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang spesifik yang datang kemudian.
3.             Penjelasan susulan terhadap hukum yang bersifat ambigius.
4.             Penetapan syarat bagi hukum yang datang kemudian guna membatalkan atau merebut atau menyatakan berakhirnya masa berlakunya hukum terdahulu.[3]
Pembahasan mengenai nasakh, selain dibahas dalam ulumul qur’an juga dibahas dalam ilmu ushul fiqh. Dan pengertian nasakh menurut para ahli ilmu ushul adalah pembatalan pemberlakuan hukum syar’i dengan dalil yang datang belakangan dari hukum yang sebelumnya, yang menunjukkan pembatalannya baik secara terang-terangan atau secara kandungannya saja, baik pembatalan secara umum ataupun pembatalan secara kandungannya saja karena suatu kemaslahatan yang menghendakinya. Atau nasakh adalah menyatakan dalil susulan yang mengandung penghapusan pemberlakuan dalil yang terdahulu.[4]
Demikian berbagai pengertian yang diungkapkan para ulama, baik ulama ulumul qur’an ataupun ulama ahli ushul tentang nasakh. Dan dari berbagai pengertian tersebut, penulis menyimpulkan bahwa nasakh adalah mengangkat atau menghapuskan hukum syara’ yang terlebih dahulu datang dengan dalil hukum syara’ lain yang datang kemudian. Nasakh merupakan istilah untuk dua hal, yaitu nasikh dan mansukh seperti dalam tata Bahasa Arab istilah idhofah untuk dua hal, yaitu mudhof dan mudhofun ilaih. Nasikh adalah dalil atau hukum yang menghapus dalil atau hukum lain. Sedangkan mansukh adalah dalil atau hukum yang dihapus atau diangkat.
Adanya nasakh sebagaimana yang disepakati oleh jumhur ulama, itu berdasarkan firman Allah, yaitu:
. مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِير
Apa saja ayat yang kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu? {al Baqarah (2):106}.
Di dalam tafsir al Misbah, dijelaskan bahwa ayat ini berkaitan dengan ayat-ayat sebelumnya, yang berbicara tentang orang orang Yahudi. Demikian erat hubungan maknanya, sampai sampai awalnya tidak dibubuhi huruf waw (dan) seperti yang biasa menghiasi ayat ayat lain saat berpindah dari suatu persoalan ke persoalan lain.
Seperti terbaca pada ayat ayat yang lalu, banyak orang Yahudi yang enggan menerima ayat suci Alquran serta berkeberatan terhadap Allah yang menurunkannya kepada Nabi Muhammad saw. Karena itu, mereka selalu berusaha mencari celah untuk membuktikan kelemahan Alquran. Mereka berdalih bahwa Allah tidak mungkin mengubah ketetapan ketetapan Nya. Pengubahan menjadikan syariat agama mereka tidak berlaku lagi bila mereka mengakui agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. pengubahan juga dapat berarti bahwa Tuhan tadinya tidak tahu, dan bila mengubahnya pastilah ada sesuatu yang baru Tuhan ketahui.
Allah membantah mereka dengan menyatakan: “Kami tidak menasakhkan satu ayat pun, baik dengan membatalkan hukumnya atau pun mengalihkannya, atau Kami menagguhkan hukum pelaksanaan nya kecuali Kami datang yang lebih baik darinya atau sebanding dengannya seperi pembatalan kehalalan pengucapan “raa’ina” terhadap Nabi Muhammad saw. dengan kata “unzhurna”. Tiadakah engkau mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu? Tiadakah engkau, wahai pendengar ayat ini, mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi adalah milik Allah sehingga Dia dapat melakukan apa saja sesuai dengan hikmah kebijaksaan Nya? Dan tidak pulakah engkau mengetahui bahwa tiada bagimu selain Allah satu pelindung maupun satu penolong”.
Kata (نسخ) naskh mempunyai banyak arti, antara lain membatalkan, mengganti, mengubah, menyalin, dan lain sebagainya. Dari segi hubungan antar ayat, kita dapat mengatakan bahwa larangan mengucapkan raa’ina dan mengganti dengan unzhurna, seperti tuntunan ayat yang lalu, merupakan salah satu bentuk penggantian dan pembatalan, paling tidak, dari tinjauan kebahasaan. Karena itu, wajar jika ayat ini berbicara tentang penggantian dan pembatalan itu.
Ayat ini ditutup dengan satu pernyataan yang redaksinya terbaca seakan akan ditujukan kepada Nabi Muhammad saw., tetapi pada hakekatnya ditujukan kepada orang Yahudi dan siapa punn yang merasa keberatan dengan kebijaksanaan Allah itu, Tidakkah engkau mengetahui bahwa Allah kuasa atas segala sesuatu?.
Redaksi semacam ini mengandung kecaman yang lebih pedas daripada yang redaksinya ditujukan langsung kepada yang dimaksud. Kecaman yang sama berlanjut pada ayat berikutnya, yaitu Tidakkah engkau mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi adalah milik Allah? Dia mengatur, mengendalikan, dan melakukan apa saja sesuai dengan hikmah kebijaksanaan Nya. Dan tiada bagimu selain Allah pelindung dan pembimbing dalam kehidupan spiritual dan material maupun satu penolong yang dapat memberi pertolongan menghadapi kesulitan apapun.[5]


B.       Hikmah Nasakh

 Adanya nasakh dalam dalil-dalil, baik Alquran maupun hadits tentu memiliki beberapa hikmah bagi seluruh umat manusia yang memiliki budaya, adat, kebiasaan yang berbeda di wilayah yang berebeda dan bahkan zaman yang berbeda pula. Di antara hikmah-hikmah tersebut adalah sebagai berikut:
1.        Memelihara kemaslahatan hamba.
2.        Mengembangkan pensyariatan hukum sampai pada tingkat kesempuranaan, seiring dengan perkembangan dakwah dan kondisi manusia itu sendiri.
3.        Menguji kualitas keimanan mukallaf dengan cara adanya suruhan yang kemudian dihapus.
4.        Merupakan kebaikan dan kemudahan bagi umat. Apabila ketentuan nasikh lebih berat dari pada ketentuan mansukh, berarti mengandung konsekuensi pertambahan pahala. Sebaliknya, jika ketentuan dalam nasikh lebih mudah dari pada ketentuan mansukh, itu berarti kemudahan bagi umat.[6]


C.      Pedoman Mengetahui Nasakh dan Hikmahnya

Pengetahuan tentang nasikh dan mansukh mempunyai fungsi dan manfaat besar bagi para ahli ilmu, terutam fuqaha, mufassir, ahli ushul, agar pengetahuan tentang hukum tidak menjadi kacau dan kabur. Oleh sebab itu, terdapat banyak perkataan sahabat atau tabi’in yang mendorong agar mengetahui masalah ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar