motto hidup

sebaik-baik segala sesuatu adalah pertengahannya.
merenungi apa yang akan terjadi pada senyuman kedua orang tuaku, apabila aku gagal.

Rabu, 04 Januari 2012

Israiliyat

PENDAHULUAN


            Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, yang telah mencurahkan rahmat dan kasih sayang Nya kepada seluruh manusia. Tuhan yang memperbuat apa saja yang dikehendak Nya, yang Besar dan Tinggi, yang Tunggal, dan tidak sesuatu pun yang menyerupai Nya.
            Shalawat dan Salam dimohonkan untuk penghulu kita, Imam sekalian Rasul, Nabi yang paling akhir yang diutus Tuhan untuk menjadi saksi, pembawa kabar gembira untuk hamba-hamba Nya yang saleh dan membawa kabar duka untuk umat yang durhaka. Rasul yang memanggil umat ke jalan Allah dan menjadi pelita bagi seluruh manusia di kegelapan zaman, yaitu Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
            Kaum Yahudi dan Nasrani adalah dua kaum yang kita kenal sebagai Ahli Kitab. Nasrani Yahudi mempunyai pengetahuan keagamaan yang bersumber dari Taurat dan kaum Nasrani pun mempunyai pengetahuan yang bersumber dari Injil. Cukup banyak kaum Yahudi dan Nasrani yang bernaung dibawah panji-panji Islam sejak Islam lahir, sedangkan mereka tetap memelihara baik pengetahuan agamanya yang terdahulu.
            Sementara itu Alquran banyak mencakup hal-hal yang terdapat dalam Taurat dan Injil, khususnya yang berhubungan dengan kisah para nabi dan berita umat terdahulu. Namun dalam Alquran kisah-kisah tersebut hanya dikemukakan secara singkat dengan menitikberatkan pada aspek-aspek nasehat dan pelajaran, tidak mengemukakan secara rinci dan mendetail seperti titimangsa peristiwa, nama-nama negeri, dan nama-nama pribadi. Sedang Taurat dan Injil mengemukakannya secara panjang lebar dengan menjelaskan rincian dan bagian-bagiannya. Ketika Ahli Kitab masuk Islam, mereka membawa pula pengetahuan keagamaan mereka berupa cerita dan kisah-kisah keagamaan. Dan disaat membaca kisah-kisah dalam Alquran terkadang mereka paparkan rincian kisah itu yang terdapat dalam kitab-kitab mereka.
            Karena itu, pada makalah ini pemakalah akan menguraikan sedikit pengetahuan tentang israiliyat yang mudah-mudahan dapat meluruskan pemahaman kita terhadap Alquran. Dalam makalah ini akan diuraikan pengertian israiliyat dan latar belakang muncul serta perkembangannya. Para ulama pun berbeda pendapat mengenai israiliyat. Sehingga sangat penting bagi pemakalah untuk menguraikan perbedaan pendapat tersebut yang disertai pembagian, pengaruh dan beberapa contoh israiliyat.
PEMBAHASAN


A.      Pengertian Israiliyat
            Tentunya banyak pengertian israiliyat yang diungkapkan oleh para ulama Ulumul Quran. Dan berikut akan penulis paparkan beberapa diantara sekian pengertian tersebut. Menurut etimologinya, israiliyat berasal dari kata israil yang merupakan kata nisbah kepada Bani Israil. Israil berasal dari Bahasa Ibrani yang berarti hamba Allah, dipakai sebagai nama lain Nabi Yaqub. Bani Israil adalah keturunan Nabi Yaqub yang menurunkan banyak Nabi, diantaranya Nabi Musa as. dan Nabi Isa as. Israiliyat menurut terminologinya budaya Yahudi yang bersumber kepada Taurat, Zabur, Asfar Musawiyah dan Talmud termasuk seluruh keterangannya yang penuh dengan dongeng dan khurafat serta abatil yang mereka kembangkan dari masa ke masa.[1]
            Pendapat lain mengatakan bahwa secara etimologis, israiliyat adalah bentuk jamak dari kata tunggal israiliyah, yaitu bentuk kata yang disandarkan pada kata Israil (bahasa Ibrani ; isra yang berarti hamba dan il yang bermakna Tuhan). Dalam perspektif historis, israil berkaitan erat dengan Nabi Yaqub bin Ishaq bin Ibrahim a.s., di mana keturunan beliau yang berjumlah dua belas itu disebut Bani Israil.  Sedangkan secara terminologis, israiliyat merupakan sesuatu yang menyerap kedalam tafsir dan hadis, di mana periwayatannya berkaitan dengan sumber Yahudi dan Nasrani, baik menyangkut agama mereka atau tidak.[2]
            Dan dari sekian pengertian yang telah dipaparkan, dapat disimpilkan bahwa Israiliyat adalah kabar-kabar yang kebanyakannya dinukilkan dari orang-orang Yahudi Bani Israil dan sebagian kecil berasal dari orang-orang Nashara.
            Meskipun israiliyat banyak diwarnai oleh kalangan Yahudi, kaum Nasrani juga turut ambil bagian dalam konstelasi penafsiran versi israiliyat ini yang disebut Nashraniyat. Hanya saja dalam hal ini, kaum Yahudi lebih populer dan lebih dominan. Karenanya, kata Yahudi lebih dimenangkan lantaran selain kaum Yahudi lebih lama berinteraksi dengan umat Islam juga di kalangan mereka banyak yang masuk Islam. Penukilan dari orang Yahudi lebih banyak jumlahnya karena percampuran mereka dengan kaum Muslimin dimulai semenjak kelahiran Islam di samping hijrah pun ke Madinah, tempat orang Yahudi menentap.
             Cerita israiliyat ini sebagian besar diriwayatkan dari empat orang, yaitu abdUllah bin Salam, Ka’bul Ahbar, Wahab bin Munabbih, dan Abdul Malik bin Abdul ‘Aziz bin Juraij.[3] Wahab bin Munabbih adalah orang Yahudi dari Yaman yang masuk Islam yang banyak meriwayatkan israiliyat dan nashraniyat seperti yang terdapat dalam tafsir Ibnu Jarir al Thabary. Kemudian Ibn Juraij adalah pemuka riwayat yang meriwayatkan nashraniyat. Dia adalah bangsa Romawi yang beragama Nasrani yang kemudian memeluk Islam.[4]
           

B.       Latar Belakang Muncul dan Berkembangnya Israiliyat

            Sejak tahun 70 M kaum Ahli Kitab yang mayoritas orang Yahudi telah berimigrasi secara besar-besaran ke jazirah arab untuk menghindari tekanan dan penindasan yang dilakukan oleh Nitus, seorang panglima Romawi. Dan mereka sering mengadakan perjalanan baik ke arah barat maupun ke arah timur. Sengan demikian, banyak mempengaruhi orang-orang timur dan sebaliknya juga mempengaruhi orang-orang barat. Sementara itu, Bangsa Arab di zaman Jahiliyah juga banyak melancong ke negeri lain. Kondisi seperti ini terus berlanjut hingga Islam lahir dan berkembang di jazirah Arab.
            Kondisi dua kebudayaan ini, yaitu Yahudi dan muslim melahirkan pemikiran-pemikiran yang berbeda hingga tidak jarang terjadi dialog antara keduanya. Mereka saling bertukar pikiran ihwal masalah-masalah keagamaan. Bahkan, Rasulullah sendiri sering dihujani pertanyaan oleh orang-orang Yahudi, terutama menyangkut keabsahan beliau sebagai Nabi dan utusan. Akan tetapi, karena keabsahan Nubuwah dan risalah agama Islam berikut Alquran sebagai petunjuk hidupnya dapat dibuktikan secara konkrit, maka Rasulullah dapat menarik mereka masuk ke dalam agama Islam.
            Pada era Rasulullah, informasi dari kaum Yahudi yang dikenal sebagai israiliyat tidak banyak berkembang dalam penafsiran Alquran, sebab hanya beliau satu-satunya yang menjelaskan berbagai masalah atau pengertian yang berkaitan dengan ayat-ayat Alquran. Israiliyat sebenarnya sudah muncul dan lama berkembang di kalangan bangsa Arab jauh sebelum Rasulullah lahir, yang kemudian terus bertahan pada era Rasulullah. Hanya saja, pada waktu itu israiliyat belum menjada khazanah dalam penafsiran Alquran.
            Permasalahan yang muncul kemudian adalah bahwa sepeninggal Rasulullah, tidak seorangpun berhak menjadi penjelas wahyu Allah. Oleh karena itu, jalan yang ditempuh para sahabat adalah dengan ekstra hati-hati melakukan ijtihad sendiri, manakala mereka menjumpai masalah tersebut, seperti kisah-kisah nabi atau umat-umat terdahulu. Hal ini terjadi mengingat kadang-kadang ada persamaan antara, Alquran, Taurat, dan Injil. Hanya saja Alquran berbicara secara ringkas dan padat, sementara Taurat dan Injil  berbicara dengan panjang lebar. Sumber-sumber israiliyat yang terkenal di kalangan Yahudi adalah Abdullah bin Salam, Ka’ab bin Akhbar, Wahab bin Munabbih, dan Abdul Malik bin Abdul ‘Aziz bin Juraij. Sementara di kalangan para sahabat adalah Abu Hurairah, Ibn ‘Abbas, dan Abdullah bin Amr bin Ash. Mereka ini adalah narasumber kedua.
            Pada era sahabat inilah kisah israiliyat mulai berkembang dan tumbuh subur. Hanya saja, dalam menerima riwayat dari kalangan Yahudi dan Nasrani pada umumnya mereka amat ketat. Mereka hanya membatasi pada sekitar kisah-kisah dalam Alquran yang diterangkan secara global dan Nabi sendiri tidak menerangkan kepada mereka mengenai kisah-kisah tersebut. Di samping itu, mereka terkenal sebagai orang-orang yang konsisten dan konsekuen pada ajaran yang diterima dari Rasulullah, sehingga ketika mereka menjumpai kisah-kisah israiliyat yang bertentangan dengan syariat Islam mereka langsung menentangnya sebaliknya, apabila kisah-kisah israiliyat itu benar maka merekapun menerimanya. Dan apabila kisah-kisah itu diperselisihkan kebenarannya, mereka menangguhkannnya.
            Namun yang paling disayangkan adalah pada periode tabi’in, di mana seringkali terjadi penafsiran atau periwayatan yang tidak selektif dalam artian banyak periwayatan hadis tidak melalui jalur “kode etik metodologi penelitian”  ilmu-ilmu hadis dengan tanpa menuliskan sanadnya secara lengkap. Akibatnya banyak muncul periwayatan dalam penafsiran yang terkena ilfiltrasi israiliyat. Tokoh penting yang banyak meriwayatkan israiliyat pada periode ini, di antaranya adalah Ka’ab al Akhbar dan Wahab bin Munabbih.[5]


C.      Macam-macam Israiliyat dan Contohnya

            Israiliyat memiliki beberapa macam yang didasarkan pada dua tinjauan. Israiliyat apabila ditinjau dari syariat Islamiyah, dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
1.        Kisah yang dibenarkan oleh Islam atau Khabariyah al Shidqu, yaitu israiliyat yang bisa dibenarkan isinya, yaitu apabila isinya sesuai dengan kandungan alquran dan sunah nabi.  Contohnya: Imam Al-Bukhari dan yang lainnya meriwayaatkan dari Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu, dia mengatakan: “Datang salah seorang pendeta Yahudi kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, dia berkata: ‘Wahai Muhammad, sesungguhnya kami menjumpai (dalam kitab suci kami) bahwa Allah ‘Azza wa Jalla akan meletakkan semua langit di atas satu jari, semua bumi di atas satu jari, pohon-pohon di atas satu jari, air di atas satu jari, tanah di atas satu jari dan seluruh makhluk di atas satu jari, maka Allah berfirman: ‘Akulah Raja.’’ Mendengar hal tersebut, tertawalah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sehingga nampak gigi-gigi geraham beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam karena membenarkan ucapan pendeta Yahudi itu. Kemudian beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah ‘Azza wa Jalla:
وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَالأرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّماوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ.
                        “Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Tuhan dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.” {QS. Al-Zumar (39): 67}
2.        Kisah yang diingkari oleh Islam dan dipersaksikan bahwa kisah tersebut adalah dusta atau Khabar al Kidzbu, yaitu israiliyat yang jelas isinya bertentangan dengan Alquran dan sunah atau jelas kebohongannya dan kekhurafatannya. Maka ini adalah bathil. Contohnya, Imam Bukhari meriwayatkan dari Jabir radhiyallaahu ‘anhu bahwa dia berkata: “Dahulu orang Yahudi apabila ‘mendatangi’ istrinya dari belakang berkata: ‘Anaknya nanti bermata juling’, maka turunlah firman Allah ‘Azza wa Jalla:
نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ.
            “Istri-istrimu adalah seperti tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tempat bercocok tanammu bagaimana saja kamu menghendaki.” {QS. Al-Baqarah (2): 223}
3.   Kisah yang Islam tidak membenarkan tidak pula mengingkarinya atau Khabar al Shidqu wal Kidzbu, yaitu israiliyat yang tidak diketahui benar atau tidaknya. Yang seperti ini tidak perlu diyakini atau didustakan dan kita wajib mendiamkannya. Berdasarkan hadits yang telah diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu bahwa dia berkata: “Dahulu Ahlul Kitab membaca Taurat dengan Bahasa Ibrani dan mereka menafsirkannya untuk orang-orang Islam dengan bahasa Arab, maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jangan kalian benarkan Ahlul Kitab dan jangan kalian dustakan mereka namun katakanlah: آمَنَّا بِاللهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ  (Kami beriman kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan pada apa yang telah diturunkan kepada kami dan apa yang telah diturunkan kepada kalian).”
                        Bercerita dengan kabar seperti ini boleh apabila tidak ditakutkan menyebabkan terjatuhnya seseorang ke dalam larangan, karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat dan tidak mengapa kalian menceritakan tentang Bani Israil. Barangsiapa sengaja berdusta atas namaku maka hendaklah dia menyiapkan tempat duduknya di neraka.” (HR. Al-Bukhari)
                        Kebanyakan berita yang diriwayatkan dari Ahlul Kitab dalam hal ini tidak mempunyai manfaat untuk urusan agama, seperti penetuan warna anjing Ashhabul Kahfi dan yang lainnya.
                        Adapun bertanya kepada Ahlul Kitab tentang suatu perkara agama maka hukumnya haram, berdasarkan hadits yang telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jangan kalian bertanya sesuatu kepada Ahlul Kitab karena mereka tidak akan memberi petunjuk bagi kalian dan sungguh mereka telah tersesat, karena bisa jadi kalian akan membenarkan sesuatu yang batil atau mendustakan yang haq. Seandainya Musa ‘alaihis salaam hidup di antara kalian, maka tidak halal baginya kecuali mengikutiku.”
                        Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma bahwa dia berkata: “Wahai kaum muslimin! Bagaimana kalian bisa bertanya sesuatu kepada Ahlul Kitab sedangkan Al-Qur’an yang Allah ‘Azza wa Jalla turunkan kepada Nabi kalian telah menceritakan sesuatu yang benar dan murni tentang Allah ‘Azza wa Jalla. Allah ‘Azza wa Jalla telah memberitahukan kepada kalian bahwa Ahlul Kitab telah mengganti dan merubah isi Al-Kitab kemudian mereka menulisnya sendiri dengan tangan-tangan mereka, lalu berkata ‘Ini berasal dari Allah ‘Azza wa Jalla’, dengan maksud untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatannya. Tidakkah pengetahuan kalian tentang (pengkhiatan) mereka itu memalingkan kalian dari bertanya kepada mereka. Lalu, sekali-kali tidak demi Allah! Tidak pernah kami melihat seorangpun dari Ahli Kitab bertanya kepada kalian tentang apa yang telah diturunkan kepada kalian.”[6]
            Sedangkan israiliyat apabila ditinjau dari riwayat cerita israiliyat terbagi menjadi dua, yaitu:
1.        Cerita shahih, contohnya apa yang diungkapkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya: Dari Ibnu Jarir: telah menceritakan kepada kamu Mutsani dari Usman bin Umar dari Fulaih dari Hilal bin Ali dari Atha bin Yasir, ia berkata: aku telah bertemu dengan Abdullah bin Amr dan berkata kepadanya: ceritakanlah olehmu tentang sifat Rasulullah Saw. yang diterangkan di dalam Kitab Taurat! Ia berkata: Ya demi Allah, sesungguhnya sifat Rasulullah di dalam Taurat sama seperti yang diterangkan di dalam Alquran: Wahai Nabi sesungguhnya Kami mengutusmu sebagai saksi, pemberi kabar gembira, pemberi peringatan”, dan pemelihara orang-orang yang ummi. Engkau adalah hambaKu dan rasulKu, namamu yang dukagumi, engkau tidak kasar dan tidak pula keras. Allah tidak akan mencabut nyawanya sebelum agama Islam tegak dan lurus, yaitu dengan ucapan “Tiada Tuhan yang patut disembah dengan sebenarnya kecuali Allah...dst.” Imam Ibnu Katsir telah mengaitkan riwayat ini dengan pernyataannya: Bahwasannya Imam Bukhari telah meriwayatkan berita ini dalam kitab shahihnya Muhammad bin Sinan, dari Fulaih, dari Hilal bin Ali, ia menceritakan sanadnya, seperti yang telah disebutkan, tetapi ia menambah setelah ucapannya “Bahwa Nabi itu tidak kasar dan keras” yaitu ucapannya “Dan bagi sahabt-sahabatnya di pasar-pasar, ia tidak pernah membalas keburukan dengan keburukan, akan tetapi memaafkan dan mengampuni.”
2.        Cerita dhaif, contohnya adalah atsar yang diriwayatkan oleh al Razi dan dinukil oleh Ibnu Katsir dalam Q.S. Qaf (50), ia berkata: Sesungguhnya atsar tersebut adalah atsar gharib dan tidak shahih, ia menganggapnya sebagai cerita khurafat Bani Israil”, ketika menafsirkan:
وَالْبَحْرُ يَمُدُّهُ مِنْ بَعْدِهِ سَبْعَةُ أَبْحُرٍ.
            “Dan laut, ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudahnya” {QS. Luqman (31): 27}

                        Dalam atsar itu disebutkan: Ibnu Abu Hatim berkata, telah berkata ayahku, ia berkata: Aku mendapat berita dari Muhammad bin Ismail al Makhzumi, telah menceritakan kepadaku Laits bin Abu Sulaim, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas ra. ia berkata: Allah Swt. telah menciptakan di bawah ini laut melingkupnya, di dasar laut ia menciptakan sebuah gunung yang disebut gunung Qaf. Langit dunia ditegakkan dia atasnya. Di bawah gunung tersebut Allah menciptakan bumi seperti bumi ini, yang jumlahnya tujuh lapis. Kemudian di bawahnya ia menciptakan sebuah gunung lagi, yang juga bernama gunung Qaf. Langit jenis kedua diciptakan di atasnya. Sehingga jumlah semuanya: tujuh lapis bumi, tujuh lautan, tujuh gunung, dan tujuh lapis langit.[7]


D.      Pendapat Ulama Tentang Israiliyat

            Para ulama, khususnya ahli tafsir berbeda pendapat mengenai sikap terhadap Israiliyat ini. Diantara perbedaan-perbedaan pendapat tersebut adalah sebagai berikut:
1.         Di antara mereka ada yang memperbanyak berbicara tentangnya dengan dirangkai dengan sanad-sanadnya. Pendapat ini berpandangan bahwa dengan menyebut sanadnya, berarti ia telah berlepas diri dari tanggung jawab atasnya. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Ibn Jarir ath-Thabari.
2.         Di antara mereka ada yang memperbanyak berbicara tentangnya dan biasanya menanggalkan sama sekali sanad-sanadnya. Ini seperti pencari kayu bakar di malam hari. Cara seperti ini dilakukan al-Baghawi di dalam tafsirnya yang dinilai oleh Syaikhul Islam Ibn Taimiyah sebagai ringkasan dari tafsir al-Tsa’alabi. Hanya saja, al-Baghawi memproteksinya dari dimuatnya hadits-hadits palsu dan pendapat-pendapat yang dibuat-buat. Syaikhul Islam Ibn Taimiyah menyebut al-Tsa’alabi sebagai seorang pencari kayu bakar di malam hari di mana ia menukil apa saja yang terdapat di dalam kitab-kitab tafsir baik yang shahih, dha’if mau pun yang mawdhu’ (palsu).
3.      Di antaranya mereka ada yang banyak sekali menyinggungnya dan mengomentari sebagiannya dengan menyebut kelemahannya atau mengingkarinya atau meriwayatkan kisah-kisah ini lalu ada ulama yang mengkritik sebagian riwayatnya bahwa itu dhaif atau mungkar seperti yang dilakukan Ibn Katsir.
4.      Di antara mereka ada yang berlebih-lebihan di dalam menolaknya dan tidak menyebut sesuatu pun darinya sebagai tafsir Alquran seperti yang dilakukan Muhammad Rasyid Ridha.[8]

E.       Pengaruh israiliyat
            Pada konteks tertentu, dalam penafsiran Alquran helas sekali terdapat kerinduan pada kisah-kisah dan mitologi-mitologi. Oleh karena itu, kaum mukmin berniat mengetahui cerita tersebut secara lebih dekat. Tidak diragukan lagi, pengkajian dan penelaahan ilmiah yang mereka lakukan mempunyai implikasi cukup jauh dalam menjelaskan secara rinci tentang legislasi-legislasi hukum Islam. Maka lahirlah komunitas orang yang ahli dalam kitab-kitab terdahulu. Mereka berusaha menutupi celah-celah yang ada dala alquran dengan apa yang mereka pelajari dari hasil interaksinya dengan penganut Yahudi dan Nasrani.          
            Sudah barang tentu, infiltrasi israiliyat ke dalam penafsiran Alquran terutama yang bertentangan dengan prinsip asasinya banyak menimbulkan pengaruh negatif pada Islam. Diantaranya adalah sebagai berikut:
1.      Merusak akidah umat Islam, seperti yang dikemukakan oleh Muqtil atau Ibn Jarir tentang kisah Nabi Daud a.s. dengan istri panglima (Uria) dan kisah Nabi Muhammad dengan Zainab binti Jahsyi, yang keduanya mendiskreditkan pribadi Nabi yang maksum serta mengambarkan Nabi sebagai pemburu nafsu seksual.
2.      Memberi kesan bahwa Islam itu agama khurafat, takhayul dan menyesatkan. Hal ini tampak pada riwayat al qurthubi ketika menafsirkan firman Allah,
الَّذِينَ يَحْمِلُونَ الْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ.
            “Para Malaikat pemikul ‘arsy dan yang disekitarnya sama-sama bertasbih memuji tuhannya...” {QS. al Mu’min (40): 7} dengan mengatakan, “kaki Malaikat pemikul ‘arsy itu berada di bumi paling bawah, sedangkah kepalanya menjulang ke ‘arsy.
3.      Riwayat-riwayat tersebut hampir menghilangkan rasa kepercayaan pada sebagian ulama salaf, baik dari kalangan sahabat maupun tabi’in seperti Abu Hurairah, Abdullah bin Salam, dan Wahab bin Munabbih.
4.      Memalingkan perhatian umat Islam dalam mengkaji soal-soal keilmuan Islam. Dengan larutnya umat Islam ke dalam keasyikan menikmati kisah-kisah israiliyat, mereka tidak lagi antusias memikirkan hal-hal makro, seperti sibuk dengan nama dan anjing Ashabul Kahfi, jenis kayu dari tongkat Nabi Musa as., nama binatang yang diikutsertakan dalam perahu Nabi Nuh as. Dan sebagainya di mana perincian itu tidak bermanfaat. Sekiranya bermanfaat, alquran tentu akan menjelaskannya. Dan yang paling memperhatikan adalah bahwa pengaruh israiliyat dalam penafsiran alquran menimbulkan sikap apriori peminat almu tafsir pada kitab tafsir, lantaran khawatir bahwa semua kitab itu berasal dari sumber yang sama.

PENUTUP


A.      Kesimpulan
            Israiliyat adalah kabar-kabar yang kebanyakannya dinukilkan dari orang-orang Yahudi Bani Israil dan sebagian kecil berasal dari orang-orang Nashara. Meskipun israiliyat banyak diwarnai oleh kalangan Yahudi, kaum Nasrani juga turut ambil bagian dalam konstelasi penafsiran versi israiliyat ini yang disebut Nashraniyat. Hanya saja dalam hal ini, kaum Yahudi lebih populer dan lebih dominan dan memiliki jumlah penukilannya lebih banyak.
            Israiliyat memiliki beberapa macam yang didasarkan pada dua tinjauan. Israiliyat apabila ditinjau dari syariat Islamiyah, dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
Ø  Kisah yang dibenarkan oleh Islam atau Khabariyah al Shidqu
Ø  Kisah yang diingkari oleh Islam dan dipersaksikan bahwa kisah tersebut adalah dusta atau Khabar al Kidzbu
Ø  Kisah yang Islam tidak membenarkan tidak pula mengingkarinya atau Khabar al Shidqu wal Kidzbu
            Sedangkan israiliyat apabila ditinjau dari riwayat cerita israiliyat terbagi menjadi dua, yaitu cerita shahih dan cerita dhoif. Dan banyak terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama mengenai sikap terhadap israiliyat. Ada yang menerima dan ada yang menolaknya. Munculnya israiliyat tidak lepas dari kondisi sosio-kultural masyarakat Arab pra Islam yang telah lama berinteraksi dengan budaya Yahudi. Selanjutnya Nabi sendiri memberi lampu hijau untuk meriwayatkan sesuatu dari Ahli Kitab. Oleh karena itu tidak semua israiliyat mengandung hal yang bathil.
            Berkembangnya israiliyat mulai pada era sahabat dan tabi’in. Namun disayangkan pada era ini banyak periwayatan yang tidak dibarengi dengan asoek metodologisnya, sehingga tidak jarang terjadi penyerapan israiliyat yang berbahaya. Oleh karena itu perlu dicarikan langkah-langkah pemecahan yang mungkin dapat dilaksanakan. Langkah alternatif bagi pemecahan di atas dilaksanakan oleh orang yang hendak menafsirkan Alquran, atau dengan cara menyeleksikitab-kitab tafsir dari pengaruh israiliyat yang berbahaya.

B.       Penutup

            Di bawah genggaman kuasa Allah swt. dan limpahan nikmat Nya yang tak terhingga, para penulis memanjatkan puji dan syukur dari lubuk jiwa ke hadirat Allah swt. yang telah memberi anugerah terindah kepada para penulis, sehingga dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul  “Israiliyat” tepat sebelum tiba waktu yang ditentukan.
            Penulis tentunya sudah berusaha maksimal dalam memanfaatkan  waktu untuk menuangkan segala pikiran dan pengetahuan ke dalam makalah ini. Para penulis tidak lupa memohon ampun kepada Allah swt. atas kesalahan-kesalahan kami dalam penulisan makalah ini. Dan tentunya, kritik dan saran sangat penulis harapkan, guna perbaikan di masa mendatang. Dan harapan para penulis, semoga makalah ini sangat bermanfaat bagi para penulis, teman-teman, masyarakat, dan semua pihak yang membaca makalah ini. Amien Ya Rabbal Alamien...


DAFTAR PUSTAKA



Al Qattan, Manna’ Khalil. Studi Ilmu-ilmu Alquran. Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa,     2009.

Al Shiddieqy, Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Alquran. Jakarta: PT Bulan Bintang, 1994.

Hamid, Shalahuddin. Study Ulumul Quran. Jakarta: Intermedia, 2002.

http://almuslimah.wordpress.com/2009/08/28/kisah-kisah-israiliyat-dalam-pandangan-islam/

Sukardi. Belajar Mudah Ulumul Quran. Jakarta: Lentera, 2002.



                [1]Shalahuddin Hamid, Study Ulumul Quran (Jakarta: Intermedia, 2002), h. 350.
                [2] Sukardi, Belajar Mudah Ulumul Quran (Jakarta: Lentera, 2002), h. 277.
                [3] Manna’ Khalil al Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an (Bogor:Pustaka Litera Antar Nusa, 2009), h. 493.
                [4] Hasbi al Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Alquran (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1994), h. 222.
                [5] Sukardi, Belajar Mudah Ulumul Quran, h. 277-280.
                [6]  http://almuslimah.wordpress.com/2009/08/28/kisah-kisah-israiliyat-dalam-pandangan-islam/

                [7]Hamid, Study Ulumul Quran, h. 351-352.
                [8] www.alsofwah.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar